aaa

DUKUNG SEMANGAT INDONESIA

Saturday, November 8, 2008

Journalism Damai menjelang pemilu

Jurnalisme Damai Menjelang PEMILU 2004
Diterbitkan atas kerjasama:
2004
Prosiding Seminar Sehari
Seminar Sehari Jurnalisme Damai i
Jurnalisme Damai
Menjelang PEMILU 2004
Diterbitkan atas kerjasama:
2004
Prosiding Seminar Sehari
ii Seminar Sehari Jurnalisme Damai
Katalog Nasional Dalam Terbitan (KDT)
Jurnalisme Damai Menjelang PEMILU 2004
70 halaman
Hak Cipta 2004 The Habibie Center
Cetakan Pertama, Mei 2004
Semua bahan dalam buku ini boleh digandakan
untuk kepentingan pendidikan jurnalis
asal menyebutkan sumbernya
Rancang Logo: M. Nasir (Karikartunis KOKKANG)
Tata Letak dan Ilustrasi: M. Ilyas Thaha
Penyunting: Fetty Fajriati dan Afdal Makuraga
Pengumpul Bahan:
Rizki Ayu Budipratiwi
Wenny Pahlemy
Intantri Kusmawarni
Diterbitkan atas kerja sama The Habibie Center dan The Japan Foundation
sebagai tindak lanjut dari Seminar Jurnalisme Damai 2004.
The Habibie Center Jl. Kemang Selatan No. 98, Jakarta 12560
Telp. (021) 781-7211, Faks. (021) 781-7212,
www.habibiecenter.or.id
The Japan Foundation
Summitmas I, 2-3F, Jalan Jenderal Sudirman, Kav. 61-62
Jakarta Selatan 12190, Indonesia
Tel: 62-21-520-1266 Fax: 62-21-525-5159
www.jpf.or.id
Seminar Sehari Jurnalisme Damai iii
DAFTAR ISI
Daftar Isi .............................................................................................................................. ii
Pengantar Penerbit ............................................................................................................. iii
Sambutan Direktur Eksekutif The Habibie Center ....................................................... iv
Sambutan Asisten Direktur The Japan Foundation...................................................... vi
Sambutan Direktur LKBN Antara ................................................................................... viii
BAB I: PROSIDING
Konsep dan Perspektif Jurnalisme Damai .............................................................. 2
Implimentasi Jurnalisme Damai dalam Masa PEMILU dan Situasi Konflik .... 10
Intisari Diskusi ............................................................................................................. 18
Rangkuman .................................................................................................................. 21
BAB II: MAKALAH-MAKALAH
Mengapa Jurnalisme Damai, Maria Hartiningsih ................................................. 24
Jurnalisme Damai dan Peliputan Pemilu 2004 Bagaimana Media
Melihat Pemilu?, Ibnu Hamad.................................................................................. 29
Perspektif Jurnalisme Damai dalam Peliputan Pemilu, Hanif Suranto ............. 35
Jurnalisme Damai di Ruang Berita Televisi, Ray Wijaya..................................... 41
Fair and proper media coverage of elections: Japanese perspective,
Yoshinari Kurose ......................................................................................................... 43
Beberapa Catatan tentang Jurnalisme Damai dalam
Menyongsong PEMILU 2004, Rudi Rizki ............................................................... 47
Biodata................................................................................................................................. 51
Lampiran-lampiran
Perbandingan Jurnalisme Damai dan Jurnalisme Perang .................................... 60
Rekomendasi Peserta .................................................................................................. 62
Foto Kegiatan Seminar ............................................................................................... 63
iv Seminar Sehari Jurnalisme Damai
PENGANTAR PENERBIT
Kita semua sudah sepakat mengenai perlunya jurnalisme damai . Bagaimana jurnalisme
damai harus dilakukan Kita telah menjadikan jurnalisme damai sebuah keniscayaan. Dunia
kita ini, memang penuh dengan konflik dan itulah tantangan yang harus kita hadapi ,
seperti yang ditulis Johan Galtung: 2.000 bangsa-bangsa menghendaki sebuah negara
tersendiri pada dunia yang hanya terdiri dari 200 negeri dan 20 negara bangsa. Sebagai
manusia, kelompok, negeri, dan kelompok negeri-negeri, tampaknya ingin berdiri satu
sama lain dengan cara mereka sendiri-sendiri (inilah konflik itu). Ini pulalah sumbersumber
terjadinya kekerasan.
Pertanyaan kita lagi, apakah Jurnalisme Damai bisa sepenuhnya diangkat dalam dunia
realitas? Wartawan sebagai manusia biasa, rentan terhadap bias pemberitaan karena
sentimen keagamaan, kesukuan, kelompok, bahkan mungkin karena bekerja pada stasiun
televisi, radio atau surat kabar tertentu. "Bias profesionalisme" juga bisa muncul karena
persaingan media, masing-masing harus lebih unggul dalam pemberitaan, masing-masing
harus menjadi "nomor satu" dalam berita.
Bahaya lain adalah dari berita - berita yang di tulis karena perasaan nasionalisme yang
sempit , "ethnocenterism:" yang perpedoman pada "demi negeriku, demi bangsaku".
Ambillah contoh Amerika Serikat , yang menganut sebuah sistem nilai dalam pemberitaan
dengan berasumsi ; “Amerika Serikat adalah bangsa yang unggul dari semua bangsa lain
di dunia ”. Penelitian Herbert J.Glan dari Center for Policy Research Columbia University
dalam artikel The Messeges Behind the News, lebih menegaskan mengenai hal ini. Ini
biasanya banyak ditemukan pada berita konflik diluar negeri dalam menilai negara lain.
Ekspresi "ethnocenterism" ini sangat kental ketika perang Vietnam masih berkecamuk.
Pemberitaan di Amerika Serikat hampir seragam menyatakan Vietnam Utara atau Front
Pembebasan Nasional adalah “musuh“. Media Amerika dengan rajin memberitakan
pasukan Amerika atau Vietnam Selatan yang hilang dan gugur, tetapi jarang memberikan
korban dari pihak Vietnam . Berita tentang Somalia, Perang Teluk , perang di Yugoslavia,
adalah contoh berita yang berprespektif satu sisi yang didukung oleh sikap “demi negeriku,
demi bangsaku”. Ketika wartawan masih harus dan “terpaksa” membuat berita-berita
tentang “ siapa yang harus menang”, ketika itu pula , wartawan sudah menghadirkan
ketidakbenaran. Jika terjadi seperti ini, yang menjadi korban menurut Johan Galtung,
bukanlah kebenaran itu, tetapi yang pertama justru “perdamaian”.
Inilah semua yang menjadi tantangan Jurnalisme Damai . Tetapi Jurnalisme Damai ,
bagaimanapun harus ditegakkan. Selalu ada sebuah harapan.Seminar ini semoga banyak
manfaatnya.
A.Makmur Makka
Direktur Komunikasi
The Habibie Center
Seminar Sehari Jurnalisme Damai v
Sambutan Direktur Eksekutif
The Habibie Center,
Bpk. Ahmad W. Pratiknya,
pada Pembukaan
Seminar Jurnalisme Damai,
16 Maret 2004, di Wisma Antara Jakarta.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pagi ini saya merasa bersyukur karena kita dapat berkumpul di sini, di Gedung Antara,
untuk mengikuti seminar tentang Jurnalisme Damai menjelang Pemilu 2004. Beberapa
hari lalu, kampanye sudah dimulai. Alhamdulillah, kita tidak melihat atau mendengar di
media adanya kerusuhan yang berarti. Kita harapkan hal itu terus berlangsung hingga
Pemilu berakhir nanti.
Pada beberapa Pemilu sebelumnya, kerusuhan sering mewarnai jalannya kampanye
Pemilu. Namun, kita berharap, pada pemilu kali ini perbedaan dan pertentangan itu tidak
sampai membawa kerusuhan di dalam masyarakat kita.
Pemilu - termasuk rangkaian kegiatan kampanye di dalamnya - merupakan simpul
mata rantai proses demokratisasi suatu bangsa. Terkait dengan itu, setidaknya ada tiga hal
yang perlu diperhatikan pihak media dalam menyikapi dan meliput perbedaan dan
kompetisi antar partaicalon kontestan guna mewujudkan apa yang disebut dengan
“jurnalisme damai”. Ketiga hal yang dimaksud adalah:
Pertama, kampanye dan pelaksanaan pemungutan suara dapat dijadikan sebagai
wahana pendidikan politik bagi rakyat pemilih. Untuk ini, maka forum kampanye – baik
substansi maupun acaranya – hendaknya sejalan dan berisi proses pembelajaran politik
tersebut.
Kedua, kampanye merupakan wahana untuk mengenalkan partai dan calon (baik
legislatif maupun Presiden/Wapres) tentang apa yang menjadi wawasan, kompetensi dan
komitmen mereka dalam menangani dan menyelesaikan berbagai masalah bangsa.
Ketiga, kegiatan Pemilu sebagai aktualisasi atau perwujudan kedaulatan rakyat, dan
bukan kedaulatan partai atau golongan. Terkait dengan ini maka praktek penyelenggaraan
kampanye dan upaya memenangkan partai atau calon peserta Pemilu hendaknya tidak
dikotori oleh praktek-praktek yang menyimpang dari nilai-nilai kedaulatan rakyat, baik
berupa politik uang, intimidasi, kekerasan, kebohongan maupun praktek penyimpangan
yang lain. Dengan ungkapan lain, untuk dapat mewujudkan Pemilu sebagai aktualisasi
vi Seminar Sehari Jurnalisme Damai
kedaulatan rakyat maka kegiatan kampanye dan kiprah para kontestan hendaknya
menjunjung tinggi etika dan moralitas.
Dengan demikian, disamping mengusahakan kedamaian serta menghindarkan
terjadinya perpecahan dan pertikaian di antara para kontestan dan masyarakat pemilih,
“jurnalisme damai” juga menghajatkan ‘keberpihakan’ pemberitaan sedemikian rupa
sehingga ketiga hal di atas dapat diwujudkan dalam setiap mata rantai pemilu.
Penyelenggaraan Seminar Jurnalisme Damai ini bermaksud mengajak rekan-rekan dari
media untuk bersama-sama menyukseskan Pemilu 2004, dengan cara mengakomodasi
suasana perbedaan dan kompetisi itu menjadi suatu informasi yang menyejukkan namun
faktual. Kami percaya media memiliki peran penting untuk membawa rakyat Indonesia
pada iklim demokrasi yang lebih baik melalui pemberitaannya, pengamatannya, dan
keikutsertaannya dalam menerapkan demokrasi itu sendiri.
Oleh karena itu, kami menghaturkan terima kasih kepada anda para peserta seminar
yang terdiri dari pers, pengamat media, dan mahasiswa jurusan komunikasi, atas keikutsertaannya
dalam seminar ini.
Penghargaan dan rasa terima kasih juga kami sampaikan kepada Pihak The Japan
Foundation yang telah mendukung sepenuhnya penyelenggaraan Seminar ini. Juga kepada
LKBN Antara, dan kepada para pembicara yakni Sdr. Rudy Rizki dari The Habibie Center;
Sdri. Maria Hartiningsih dari Kompas; Sdr. Ray Wijaya dari IJTI; Sdr. Ibnu Hamad dari
Universitas Indonesia; Sdr. Hanif Suranto dari LSPP; dan Mr. Yoshinari Kurose dari The
Yomiuri Shimbun.
Kami percaya masukan dari para pembicara dapat memperkaya kita semua didalam
menyajikan informasi kepada masyarakat, terutama informasi yang berkaitan dengan
perbedaan pendapat, pertentangan, bahkan konflik yang mungkin terjadi dalam masamasa
pemilu ini.
Bukan hanya itu, masukan dari pembicara dan hasil diskusi seminar ini nantinya akan
kami bukukan dan kami sebarkan kembali kepada peserta dan masyarakat, agar upaya
sosialisasi jurnalisme damai dapat diteruskan baik oleh insan media mau pun akademia.
Semoga, apa yang kita lakukan bersama pada hari ini, dapat membawa Indonesia pada
iklim demokrasi yang lebih baik. Selamat berseminar.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Ahmad W. Pratiknya
Direktur Eksekutif THC
Seminar Sehari Jurnalisme Damai vii
Sambutan Asisten Direktur
The Japan Foundation,
Sato Maho,
pada Pembukaan
Seminar Jurnalisme Damai,
16 Maret 2004, di Wisma Antara Jakarta.
Terima kasih kepada Bapak Watik Pratiknya, Ibu Rahimah dan saudara-saudara dari
The Habibie Center. Saya akan sedikit menjelaskan, The Japan Foundation berdiri pada
tahun 1972. Program utama adalah untuk memperkenalkan budaya Jepang dan mengetahui
budaya Indonesia. Kami banyak bekerja sama dengan lembaga-lembaga swadaya
masyarakat untuk mengadakan program-program yang sifatnya non-profit. Kali ini kami
bekerja sama dengan Habibie center dalam bidang media. Dan ini adalah momen yang
sangat penting bagi Indonesia dan juga kami karena pemilu akan segera dilaksanakan di
Indonesia.
Kami dari The Japan Foundation menyambut baik adanya seminar ini, dan
mengucapkan terima kasih atas kerja samanya dengan The Japan Foundation. Kami
berharap seminar ini akan memberikan masukan yang positif bagi media di Indonesia.
Dan saya juga berharap, pelaksanaan Pemilu di Indonesia dapat berjalan lancar. Selamat
melaksanakan seminar. Semoga bermanfaat.
viii Seminar Sehari Jurnalisme Damai
Sambutan Direktur
LKBN ANTARA,
Mohammad Sobary,
pada Pembukaan
Seminar Jurnalisme Damai,
16 Maret 2004, di Wisma Antara Jakarta.
Selamat pagi saudara-saudara, para peserta seminar yang saya hormati. Selamat datang
di acara seminar Jurmalisme Damai yang diselenggarakan di awal masa kampanye Pemilu
ini. Jurnalisme Damai merupakan perkara yang penting bagi kita, bukan hanya bagi jurnalis,
karena ini menyangkut komitmen kita bersama.
Suasana konflik biasanya timbul dari peristiwa-peristiwa di lapangan seperti misalnya,
kerusuhan, atau perang. Namun tidak boleh dilupakan bahwa ada suasana atau penyebab
lain yang membuat ketegangan menjadi sesuatu yang riil. Yaitu media cetak dan elektronik.
Saya melihat, kita sebagai insan pers tidak terlalu memperhatikan masalah-masalah ini.
Sebaliknya, orang-orang atau lembaga yang tidak memiliki kepentingan langsung dengan
berita, ternyata memiliki kepedulian terhadap dampak suatu pemberitaan yang dapat
menimbulkan kerusuhan.
Untuk itu, saya salut pada The Habibie Center yang tergerak untuk menyelenggarakan
acara seperti ini. Inilah saatnya kita mulai memberikan pemberitaan yang teduh dan
informasi yang tidak provokatif kepada masyarakat kita. Oleh karena itu, kita perlu
garisbawahi adalah prinsip tidak membawa suasana panas. Jurnalisme Damai adalah
memberitakan perkara tanpa melukai dan membuat panas suasana. Bagaimana media
membangun kemarahan menjadi sesuatu yang bisa diterima khalayak. Bukan berita vulgar.
Kalau harus marah, marahlah secara dewasa. Komitmen politik kita sebagai warga negara
adalah mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap apapun. Karena itu harus diperhatikan
bagaimana marah tanpa menghancurkan keseluruhan. Marah ada yang wajib, namun marah
dengan sikap dewasa, inilah yang penting bagi kita.
Pada prinsipnya Jurnalisme Damai mendidik wartawan untuk menyampaikan artikulasi
pemberitaan menuju cita-cita yang damai. Dan inilah yang kita dan masyarakat harapkan
bersama. Untuk itu, saya mengucapkan selamat bagi The Habibie Center atas
penyelenggaraan Seminar ini. Selamat berdiskusi, semoga ke depan nanti, pemberitaan
media massa bisa menjadi lebih baik dan sesuai dengan kaidah-kaidah Jurnalisme Damai.
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 1
BAB I
PROSIDING
2 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
KONSEP ONSEP DAN PERSPEKTIF
JURNALISME DAMAI
Sessi I
Pembukaan
MC : Kami persilahkan Bapak Afdal Makkuraga sebagai moderator untuk memimpin
acara ini.
Moderator : Wacana Jurnalisme Damai mengemuka ketika sejumlah konflik terjadi di
negara kita. Tepatnya setelah rezim Orde Baru (ORBA) berakhir. Ada hal yang berbeda,
pada masa ORBA, jika ada konflik langsung dibatasi atau ditutupi. Setelah masa ORBA,
hal-hal tersebut tidak ada lagi. Yang ada adalah kebebasan pers yang cenderung
memprovokasi dan mengompori (tidak membawa suatu solusi).
Kenapa kita mengambil judul itu. Karena pemilu di negeri kita ini terancam adanya
konflik. Menjelang awal April itu ada dua lembaga yang memberikan prediksi bahwa 14
propinsi rawan menjadi konflik, salah wilayah adalah Jakarta. Meski kita berharap Pemilu
akan berjalan damai, namun adanya prediksi ini, menjadi alasan diadakannya seminar
Jurnalisme Damai (JD) ini.
Saya perkenalkan ketiga pembicara masing-masing adalah; Ibnu Hamad dari UI, Maria
Hartiningsih dari Kompas dan Mas Hanif Suranto dari LSPP. Oleh karena itu kami
persilahkan kepada para pembicara untuk memberikan makalahnya.
Ibnu Hamad : Terima kasih atas kesempatannya. Saya ingin memulai sesi ini dengan
sebuah pertanyaan: Bagaimana media melihat pemilu? Jawabannya tergantung kita, apakah
ingin melihat lebih positif atau membakar massa. Saya mulai dengan sebuah tesis. News
atau Berita itu tidak sekedar sebagai alat informasi. Media ternyata bisa memiliki berbagai
fungsi. Atas dasar itu, maka JD lahir dari kenyataan bahwa berita itu melahirkan ketegangan
sosial. Saya mengajukan tesis, silahkan kepada teman-teman media: Apakah media akan
menampilkan konflik di sekitar kita sebagai konflik? Ataukah akan mendamaikan suatu
konflik? Saat kita membuka jendela di pagi hari maka terlihat pemandangan apa adanya di
luar kita. Media adalah. Media adalah gatekeeper, tetapi dalam alam liberal ini filternya
cenderung longgar.
Pilihan sebagai jendela, artinya media memperlihatkanperistiwa apa adanya kepada
publik. Sebagai cermin, media menjadi pantulan dari peristiwa itu sendiri. Sebagai filter,
media menyeleksi realitas yang akan menjadi pusat perhatian publik. Sebagai penunjuk
arah,media membuat orang tahu apa yang terjadi namun mereka tidak tersasar. Sebagai
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 3
forum, media menjadi wahana diskusi. Sebagai tabir, media bertugas memisahkan publik
dari realitas yang sebenarnya.
Berita adalah sesuatu yang laku dijual begitu juga konflik. Pertanyaannya adalah, Akan
dibawa kemana pemberitaan mengenai Pemilu ini? mengingat dalam kondisi transisional
ini setiap pihak mencari peluang ke kekuasaan (termasuk wartawan). Oleh karena itu, media
dapat menjadi pembimbing atau penterjemah. Atau media menjadikan dirinya tempat
menampung perbedaan pendapat. Media juga dapat sebagai kaca mata kuda, yaitu ketika
kita menjadikan media sebagai agen dari pejabat atau politisi. Dewasa ini partai politik
sangat berkepentingan dengan media. Pasti teman-teman media banyak dihubungi oleh
partai politik. Ciri khas politikus adalah menimbulkan opini publik. Karena itu temanteman
wartawan mesti hati-hati dalam pemberitaan.
Komunikator profesional sama dengan wartawan yang dipekerjakan oleh suatu media.
Media kita secara de jure dan de facto sudah mengarah pada industri, ciri-cirinya adalah
oplah dan rating. Konflik adalah sebuah produk pemberitaan yang laku dijual. Bagaimana
kita menyiasatinya? Akan kemana orientasi pemberitaan kita dalam liputan pemilu dalam
konteks memberdayakan? Di sisi lain adalah, situasi politik kita adalah transisional, ada
teman-teman wartawan yang jadi calon legislatif (caleg). Jadi perlu juga kemantapan diri.
Berita itu dibuat, tidak hadir begitu saja, kalau kita membuat berita, ada pertimbangan
di dalamnya. Kalau bahasanya bagus tapi penempatannya tidak bagus, hasilnya akan bagus
juga. Intinya, Bagaimana menyiasati berita yang harus dibuat? Berita adalah sebuah realita.
Berita sebagai discourse itu harus mampu mengunakan bahasa yang dirangkai dengan unsurunsur
bahasa. Tidak hanya secara gramatika benar, tapi juga menyangkut peranan dari
pemikiran seseorang. Maka dari itu media harus bisa menghadirkan sebuah wacana.
Oleh karena berita bisa menghasilkan wacana, maka kebijakan editor, tidak boleh
sekedar damai. Seharusnya informasi pemilu bisa menciptakan peluang untuk memilih
Wakil dan Presiden yang berkualitas. Tidak hanya berkisar pada ribut-ribut kampanye.
Dalan peliputan pemilu media tidak boleh interpretatif, melainkan harus objektif.
Selain pilihan dalam menyajikan realitas, optimalisasi pengelolaan isi media juga perlu
dilakukan. Dua hal yang perlu disadari jurnalis bahwa, pertama: isi media adalah hasil
konstruksi realitas, tidak begitu saja terjadi melainkan hasil “racikan” pembuatnya karena
disitu melibatkan dinamika internal dan eksternal media, sistem operasi media massa,
strategi media mengkonstruksi realitas dan lain-lain.
Isi media adalah discourse. Liputan sebagai hasil kontruksi realitas bisa memiliki banyak
fungsi (di luar fungsi informasi), yaitu idealisme, pragmatisme, mendamaikan atau
memerangkan.
Harus objektive dan netral, karena pemilu ini adalah sebuah kesempatan kita melakukan
pergantian pemimpin secara damai, beradab. Oleh karena itu pemilih harus diberi
kesempatan untuk memilih pergantian kepemimpinan yang lebih baik. Itulah pentingnya
media melakukan sosialisi untuk demokrasi. Demikian uraian singkat saya, mudahmudahan
pemikiran ini berlanjut menjadi diskusi. Terima kasih.
Maria Hartiningsih : Sebenarnya saya agak bingung dengan pengertian Jurnalisme
Damai atau JD. Kalau kita melihat misalnya, majalah Time meliput madura-dayak. Menurut
saya itu tidak menggunakan JD dan tidak layak disajikan. JD ini pilihan dan kewajiban kita
untuk menggunakannya, tapi ada mazhab/ aliran jurnalisme yang pengaruhnya tidak bisa
lepas dari pers begitu saja. Di sini objektivitas terhalang oleh mazhab-mazhab itu. Bahkan,
4 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
kita punya pemberitaan dengan cover both side itu pun dipengaruhi oleh pikiran-pikiran
kita. Ini yang perlu kita pahami, kita tidak dapat melepaskan diri dari unsur subjektivitas.
Bahwa ada pola pikir yang harus yang harus dipahami.
Sebagian mengatakan kata ‘damai’ sendiri sudah tidak mencerminkan objektivitas
karena sudah menuju ke suatu hal. Wartawan adalah manusia biasa. Harus diakui bahwa
ada pola pikir atau mindset di kepala wartawan yang tidak bisa dipisahkan secara tegas.
Apakah kalau kita menggunakan kata damai itu mengurangi objektivitas? Saya ingin
menjelaskan prakteknya. Menurut saya JD mengetahui persoalan yang tidak hanya fakta
tapi persoalan dan latar belakangnya. Seperti konflik etnis. Misalnya pagi ini ada kejadian,
orang Dayak membunuh orang madura. Jika bukan Jurnalisme Damai. Maka, setiap meliput
konflik, tidak ada yang harus ditutup-tutupi. Semua fakta harus dibuka, semua yang menjadi
korban harus diberitakan. Ini semuanya permainan mind set.
Kalau saya pikir identitas itu banyak sekali, saya tidak hanya Maria yang kerja di
Kompas tapi saya juga Maria yang punya pekerjaan lain selain sebagai wartawan. Tapi
intinya, apa pun pekerjaan yang kita jalani, tidak boleh mengurangi rasa kemanusiaan
kita. Maka, tidak dapat disangkal, upaya melepaskan diri dari kebencian terhadap suatu
peristiwa atau konflik, sebenarnya menjadi pergulatan dalam diri sendiri.
Belakangan ini, ada peristiwa yang lebih jelas lagi, agama katolik misalnya, Uskupnya
tidak mau membela Pasturnya yang di penjara. Lalu Gereja Katolik tidak bisa mengambil
sikap tegas. Konflik ini tidak boleh dibuka, padahal persoalan ini kan bukan persoalan
agama.
JD tetap menjalankan prinsip 5W + 1H. Tetapi, Jurnalisme Damai lebih menekankan
aspek Why (mengapa). Juga menambahkan unsur S (solution) dan C untuk (common ground).
Yaitu misalnya, fokus bila ada wawancara untuk tentang konflik, maka pertanyaan
wawancara tidak hanya pada ketidaksepakatan tapi juga persamaan pendapat dari mereka
yang berkonflik dalam usaha mencairkan masalah.
Liputan Jurnalisme Damai dalam Pemilu menekankan fungsi media yang membawa
pada perubahan yang lebih baik. Memberitahu khalayak untuk berhati-hati agar tidak
kembali pada persoalan bangsa pada masa lalu. Sangat mudah memberitakan mana yang
menang dan kalah, tapi sangat sulit bagi kita untuk mendamaikan keduanya melalui
pemberitaan kita.
Ada perbedaan mendasar antara Jurnalisme Konvensional dengan Jurnalisme Damai.
Jurnalisme Konvensional dipraktekkan semata-mata hanya berdasarkan pada mazhab cover
both side. Semakin keras pernyataan kedua pihak yang berkonflik, semakin berita itu
memperoleh nilai tambah untuk ditempatkan pada halaman depan atau mungkin headline.
Jurnalisme jenis ini menjual konflik dan kekerasan, meski pun imbang dalam memberitakan
dua belah pihak yang bertikai.
Lalu saya ingin menambahkan, bagaimana kehidupan JD dan pemilu. Bisa saja dalam
JD kita memberitakan satu peristiwa berdarah. JD adalah kewajiban. Jangan lupa ada masa
lalu yang masih terbawa dalam pemilu ini. Pada pemilu 1999 yang lalu ada massa yang
tidak dikenal, perempuan-perempuan dibuka blusnya oleh partai Golkar. Konflik yang
menggunakan agama adalah pelanggaran besar. Melihat latar belakang konflik menjadi
sangat penting bagi jurnalis yang bekerja dengan persepsi JD. Karena JD digunakan oleh
jurnalis untuk mewujudkan demokrasi.
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 5
Moderator : Demikian dari Pembicara kita, Mbak Maria Hartiningsih.Selanjutnya kami
persilakan Mas Hanif.
Hanif Suranto : Saya akan memulai dengan berita kecil, tentang dua orang wartawan
yang dihukum seumur hidup oleh pengadilan PBB. Dua wartawan ini dihukum karena
menjadi pemicu timbulnya konflik antar suku. Bagaimana pun pemberitaan media memiliki
dampak terhadap tumbuh kembang sebuah konflik atau kekerasan. Bisa dianalogikan media
sebagai alat yang memiliki dua mata, satu sisi memiliki penyelesaian satu sisi lagi menjadi
penyebab.
Apa sesuanguhnya konsep JD? Saya ingin mengisahkan bagaimana wartawan Indonesia
ketika meliput peristiwa Aceh. Lalu ada pertanyaan yang menyangkut gambar. Dalam
wawancara itu ada perempuan aceh yang menampakkan kebencian pada TNI. Wajah itu
diambil kamera teve dengan posisi sangat extreme close up. Apakah itu boleh? Pertanyaan
kemudian muncul, jangan-jangan jurnalis itu sendiri dapat menjadi korban atas liputannya.
Ketika ditanyakan ke David (peliput berita itu), ia mengatakan: “Saya hanya melaporkan
fakta”. Di sini sebenarnya ada pertanyaan, “Apa tujuan menghadirkan fakta itu?”. “Fakta
yang mana yang harusnya dilaporkan?”. Seorang ombudsman dari Washington Pos, 5W +
1H itu sebenarnya tidak cukup, kita harus menambahkan faktor-faktor Solution dan Common
Ground.
Ini yang mungkin tadi dikritik oleh Mba Maria. Mazhab jurnalisme mungkin ada 2,
yaitu :
1. Jurnalisme mainstream/objective/konvensional
2. Jurnalismesubjective/ alternatif
Perbedaan kedua paradigma jurnalisme ini ada empat yaitu dari: 1) peranan jurnalis,
2) gaya bercerita, 3) pendekatan jurnalisme, 4) pengungkapan fakta.
Jurnalisme Mainstream menggambarkan bagaimana melaporkan fakta sedangkan
Jurnalisme Alternatif menggambarkan kemungkinan menyampaikan fakta tetapi mampu
menyelesaikan konflik dengan damai dan cantik. Jurnalisme Damai melaporkan suatu
kejadian dengan bingkai yang lebih luas, berimbang yang didasarkan pada informasi
tentang konflik dan perubahan-perubahan yang terjadi
Hubungan relasi korban/pelaku dengan jurnalis akan seperti ini: apakah kita akan
bisa adil kalau posisi kita tetap di tengah-tengah konflik? Tadi dikatakan Pak Watik;
“mungkin jurnalisme harus memihak, dalam konteks relasi-relasi yang tidak adil.” Tapi
pemihakan lebih kepada apa? Apakah pada nilai-nilai? Ataukah kita harus memihak salah
satu, TNI atau GAM?
Pendekatan jurnalisme terlihat dari jurnalis yang membuat penyederhanaanpenyederhanaan
atau simplifikasi. Dalam kenyataannya konflik adalah sesuatu konflik
yang sangat kompleks. Karena itu pendekatan jurnalisme yang harus membuat konflik
menjadi transparan. Jurnalisme Damai tidak memandang konflik secara bipolar melainkan
multipolar
Ciri yang lain adalah bahwa Jurnalisme Mainstream biasanya menggunakan pendekatan
yang sangat elitis. Banyak menggunakan narasumber dari kalangan elit, yakni pejabat,
perwira, politikus, dll. Peliputan konflik dengan mengadopsi Jurnalisme Alternatif
sebenarnya menfasilitasi masyarakat untuk berpartisipasi. Sementara, pendekatan
Jurnalisme Mainstream lebih terfokus pada peristiwanya sendiri.
6 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
Jurnalisme Damai mencoba menekankan bahwa tugas jurnalis adalah mengajak
masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses produksi informasi, dan tidak hanya sekedar
memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui faktanya saja. Jurnalisme Damai menekankan
bahwa masalah harus dilihat dalam konteks sebuah proses. Jurnalisme Damai memang
perlu memihak, tetapi bukan memihak pada siapa, tapi pada apa, yaitu pada nilai-nilai
kemanusian secara universal (misal nilai demokrasi, hak azasi manusia, atau lainnya).
JD sebenarnya adalah sebutan lain dari apa yang disebut sebagai Jurnalisme Alternatif
tadi. Substansinya adalah dua itu tadi. Lalu, bagaimana kita mencoba mengimplementasikan
pendekatan JD dalam liputan pemilu? Pertanyaannya adalah, apakah yang akan anda liput
dalam proses pemilu sekarang ini? Isu yang paling menjadi sorotan liputan media adalah
persaingan parpol. Isu yang paling menempati urutan terbawah, ternyata adalah pendapat
masyarakat mengenai pemilu. Ini menunjukkan bahwa media kita banyak menganut
pendekatan jurnalisme perang, jadi yang di cover elit politik bukan masyarakat. Sayangnya,
itu justru yang menjadi agenda media. Lebih khusus lagi adalah kelompok masyarakat
yang marginal. Ya, itu lah paling tidak pendapat saya.
Moderator : Terima kasih Mas Hanif. Baik, selanjutnya kita akan buka sesi tanya jawab.
Sessi Tanya Jawab
Tanya
Arfan Sopandi, Pendam Jaya : Dalam kaitannya dengan tayangan di media, kita melihat
begitu gencarnya media memberitakan secara besar-besaran pernyataan-pernyataan yang
dikeluarkan oleh tokoh separatis GAM. Ini terkait dengan ancaman disintegrasi bangsa.
Mungkin akan menambah kepedulian kita bila pada kesempatan lain mengangkat satu
topik yang terkait pada masalah jurnalisme patriotik.
Dari kalangan insan pers ada yang turut mencalonkan diri sebagai calon legislatif.
Apakah bisa dijamin ke-objektivitasannya dalam meliput Pemilu? Namun demikian kita
kembalikan kepada pembaca dan pemirsa. Itu saja yang ingin saya sampaikan. Terima
kasih.
Taufik Alini (LEAD Indonesia) : Saya punya gagasan, saya membayangkan yang
disampaikan oleh pak Hanif dalam Jurnalisme Alternatif, damai berarti mempromosikan
nilai-nilai tertentu. Nilai yang hendaknya dikembangakan oleh media itu adalah saling
percaya. Itu yang sekaran sudah mulai luntur. Patriotisme mungkin lebih menarik untuk
memperkuat jalinan kalau ada rasa saling percaya.
Kedua adalah cohesivitas, hal itu sudah luntur. Ketiga adalah ketertiban yang mulai
tidak dijalankan. Saya melihat media ‘merah’ justru membuat orang tidak tertib. Mengapa
media tidak mendorong ketertiban? Terakhir adalah partisipasi, secara konseptual, JD
mendorong ketertiban. Hendaknya media menfasilitasi sebuah dialog, silahkan masyarakat
menilai hingga bisa merubah orientasi mereka. Terima kasih.
Abdullah Hafid Paronda (Unisma Bekasi) : Ada satu simpul yang saya lihat menjadi
konvergensi dari 3 pembicara. Intinya ternyata bahwa setelah kita berputar-putar pada
pendekatan fenomena. Akhirnya, semua berpulang kepada Sang aktor, seperti yang Pak
Sobary tadi katakan yaitu artikulasi kebahasaan. Dan yang utama adalah nilai-nilai
kemanusiaan secara universal. Independensi tidak berarti tidak berpihak pada sesuatu sama
sekali. Tetapi, seorang insan pers itu harus cerdas menyajikan berita kepada publiknya.
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 7
Apa yang kita bicarakan menjadi kabur ketika teori jurnalistik dikedepankan. Karena
itu ini semacam himbauan untuk kesadaran semua pihak bahwa di media mana pun semua
pihak yang tampil bicara tidak bisa melepaskan diri dari nilai-nilai kemanusia tadi.
Abdullah Alamudi (Univ. Dr Sutomo) : Saya mendapat gambaran seolah-olah yang
diadili adalah jurnalisme. Kita kembali saja kepada dasar dari jurnalisme itu sendiri. Kita
sebut saja sebagai jurnalisme check list. Apakah berita saya sudah akurat? Gender etnis?
Apakah tulisan saya tidak menghujat atau memfitnah? Kalau itu semua sudah terpenuhi
dan dia menjaga baik hubungan dengan nara sumbernya. Dan jurnalis memperhatikan
kalau nara sumbernya berkenan dengan topik yang dibahas, saya kira jurnalisme itu akan
jalan dengan sebaik-baiknya.
Pada wartawan foto dia akan bertanya, apakah foto yang saya hasilkan akan mengurangi
berita yang ada? Apakah foto menimbulkan rasa jijik orang yang melihatnya? Apakah foto
akan menimbulkan kerusuhan dalam masyarakat? Self sensorship harus datang dari
wartawan itu sendiri. Itu yang saya sebut Patriotik Jurnalisme (PJ). Selama 40 tahun saya
bekerja di media, PJ itu yang terjadi di Aceh, Right or Wrong is my country itu tidak benar.
Wright is wright, wrong is wrong. A good decision is well information.
Bagaimana anda bisa menyatakan informasi dari seorang komandan apabila informasi
itu datang dari intel-intelnya? Dalam pemilu ini, jurnalis sudah melakukan kegiatannya,
tetapi redaksinya yang diobrak-abrik hanya karena masyarakat tidak tahu fungsi dan tugas
media.
Jawab
Ibnu Hamad : Saya bukannya mengadili, saya sepakat kalau ingin mencapai tujuan
damai, bisa juga dengan basic jurnalisme. Yang penting asal pers tidak menjadi pelaku
teror. Akhirnya saya juga sepakat bahwa JD berpulang pada aktornya. Kalau mau jujur,
wartawan harus memiliki integritas. Kita juga harus cerdas, ada aspek-aspek menggali
data dan fakta, artinya ada unsur-unsur etismologinya. Ada soal jurnalisme kutipan, padahal
kalau mau mendalam, gunakan analisa.
Oleh karena itu bukan hanya senioritas yang harus dibicarakan, tetapi harus ada
kecerdasan. Dan publik harus pandai menggunakan bahasa yang pantas. Sebab bahasa
sekarang untuk melebeli sesuatu. Jadi ini saling terkait dengan berita itu sendiri.
Menanggapi Pak Arfan, di dalam makalah saya mungkin sudah lengkap. Saya melihat
ada godaan dari luar, wartawan juga sering tergoda oleh kepentingan peribadi. Jujur saja.
Maria : Saya sebenarnya agak bingung dengan Jurnalisme Patriotik, tapi saya juga
ingin mengomentari, bahwa rekan saya Hanif sudah mengatakan JD itu mesti berpegang
pada nilai kemanusiaan. Konflik itu dibuka, tidak sesederhana GAM dan TNI. Dengan
begitu kita bisa mengurangi dan bekerja pada solusi. Tidak sesederhana itu,
mengatasnamakan persatuan dan kesatuan, maka berita konflik tidak disebarluaskan. Tetapi
saya juga tidak bisa melihat orang dibantai. Jika sudah sampai pada itu, kita membuka
bahwa persoalan itu tidak ada yang disembunyikan. Jadi, saya pikir ada dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang ingin disampaikan. Saya bisa mengerti arti kemanusiaan dalam
Jurnalisme Patriotik. Tapi untuk JD, arti kemanusiaan ini jadi lebih komprehensif. Bukan
hanya mengetengahkan pembantaian karena faktor manusiawi, tetapi lebih kepada dampak
dari pembantaian itu sendiri.
8 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
Bagaimana dengan Jurnalisme Partisipatif? Kalau di Redaksi surat kabar saya harus
keluar. Seperti teman saya ketika sudah duduk di DPR maka dia harus keluar dari Redaksi.
Kita mesti menganut nilai, partisipasi bukan dalam pengertian mengikuti partai politik.
Bukan itu yang saya maksud tapi kalau partisipasi dalam nilai-nilai kemanusiaan maka itu
jawaban saya.
Hanif : Pak Sopandi (Pertanyaannya, patriotik bagi siapa?), kalau bagi TNI barangkali
penggunaan JD tidak tepat. JD itu adalah memberi kesempatan pada orang biasa, bukan
memberikan kesempatan pada elit untuk berpartisipasi.
Untuk pak Alamudi saya melihatnya sebaliknya. JD justru sangat berempati.
Problemnya adalah JD juga ditekankan adanya dampak, dari foto atau berita.
Perspektif JD adalah soal subyektivitas bukan obyektivitas. Tetapi ada nilai-nilai atau
etika yang kemudian mencoba mengarah pada kepentingan perdamaian. Media selalu
mengedepankan peristiwa dan fakta-fakta. Tetapi problemnya sebuah konflik itu kan tidak
hanya menyampaikan fakta-fakta tetapi ada kepentingan lain yang bermain. Karena itu
fakta mana yang diangkat, akan menjadi satu persoalan sendiri.
Tanya
Ridwan (THC) : Saya ingin menyakan wartawan sudah mematuhi peraturan, tetapi
dalam negara ini banyak lembaga negara yang disfungsional. Dalam konteks ini kita bicara
bahwa wartawan harus menciptakan kedamaian. Saya ingin mengatakan bahwa kita hidup
dalam negara yang mengalami perubahan. Nah itu kan dapat dilakukan dengan damai,
tanpa kekerasan. Itu berarti harus memiliki strategi, namun tetap fokus pada perubahan.
Penggunaan damai dalam JD, damai yang bagaimana? Ada perdamaian negatif dan ada
perdamaian positif. Perdamaian itu harus ada keadilan. Saya ingin bertanya kepada Bu
Maria, jika di daerah ada konflik atau ketidakadilan, dan wartawan melihat konflik itu,
apakah akan diam saja karena takut menimbulkan persoalan? Atau justru kalau tidak
memberitakan, akan menjadi api dalam sekam. Perdamaian seperti apa?
Hermanses (Media Watch Bakorpers) : JD itu tergantung masyarakatnya. Media
partisan, itu tidak akan bisa mendapat tempat kalau jurnalisnya independen. Bagaimana
menurut Pak Ibnu Hamad?
Dian (Kalyanamitra) : Saya bertanya bagaimana nasib pembaca? Saya ingin mengaitkan
JD dengan masalah ekonomi, yaitu antara jurnalis dan pemilik modal? Bahwa mereka juga
harus memiliki jiwa patriotik itu. Ada beberapa teman media menjadikan berita sebagai
suatu yang bisa menjual. Sejauh mana hak yang dimiliki seorang jurnalis dalam
menyampaikan berita?
Jawab
Ibnu Hamad : Mungkin kita bisa mulai dengan analisa isi, sederhana tetapi dapat
dipertanggungjawabkan. Ketika lembaga pers menjadi media partisan maka dia tidak laku.
Begitu jawaban untuk Mas Hermanses.
Pers sebagai cermin, dalam JA itu dipertanyakan. Untuk mba Dian, kalau pembaca
kan konsumen, tetapi dewasa ini pembaca boleh berdaya, sudah bisa menyuarakan
kepentingannya. Soal pemilik modal, ini bukan suatu isapan jempol bahwa pemilik modal
mengendalikan Redaksi. Sistem pers sendiri juga memiliki varian, kalau di negara barat
sifatnya kapitalistik.
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 9
Dalam keadaan liberal ini mari kita soroti praktik jurnalisme ini. Jangan sampai
kebebasan ini justru mematikan.
Maria H : JD itu membuka akar kekerasan supaya orang tahu. Sebab ada persoalan
yang tidak pernah dibuka. JD ditujukan untuk keadilan tidak dalam arti sempit. Kalau
diasumsikan dalam demokrasi itu berarti ada keadilan. Jadi JD itu untuk kedamaian.
Bagaimana cara mempresentasikan keadailan itu? Bahasa itu betul-betul menjadi wacana.
Saya sependapat dengan Dian dari Kalyanamitra, memang idealisme jurnalis sering
bentrok dengan pemilik modal. Dan itu memang terjadi di beberapa tempat. Di sini
masyarakat sebenarnya tahu bahwa meida sering digunakan untuk kepentingan politik.
Maka, tergantung jurnalis itu sendiri.
Hanif : Dalam JD mungkin yang harus ditekankan adalah etika referensi, fakta mana
yang akan kita angkat. Apakah bunuh-bunuhan atau tembak-tembakan. Tentu bukan itu.
Memang jurnalisme Damai itu jurnalisme subyektif; subyektifs memilih fakta. Subyetivitas
disini diterjemahkan dalam rangka menciptakan perdamaian
Moderator : Terima kasih, demikian jawaban masing-masing pembicara. Berakhir sudah
seminar sesi perrtama ini, dan selanjutnya acara saya serahkan kembali kepada MC.
MC : Hadirin, sebelum melanjutkan pada sessi ke-2 kami persilahkan hadirin untuk
menyantap makan siang yang telah kami sediakan. Kita akan memulai lagi sesi berikutnya,
satu setengah jam mendatang. Selamat bersantap!
10 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
IMPLEMENTASI JURNALISME DAMAI
DALAM MASA PEMILU DAN
SITUASI KONFLIK
Sessi II
MC: Terima kasih para hadirin yang masih bertahan untuk melanjutkan sessi ke-2 ini,
saya serahkan acara ini kepada moderator Fetty Fajriati dengan tiga pembicara lainnya,
silahkan...
Moderator (Fetty Fajriati): Hadirin yang kami hormati. Pada sessi pertama tadi rekan
saya Afdal telah menuntun kita dalam diskusi tentang konsep jurnalisme damai. Kita
lanjutkan dengan tema berikutnya yaitu mengenai aplikasi jurnalisme damai itu sendiri
dalam kegiatan jurnalistik. Pada sesi kedua ini kita mendapat kehormatan atas kehadiran
Yoshinari Kurose dari The Yomiuri Shimbun. Selain itu, ada pembicara yang sekaligus praktisi
yaitu Mas Ray Wijaya, yang merupakan Ketua Ikatan Jurnalis Televisi atau IJTI. Kemudian
juga ada seorang pengamat media, yang juga merupakan anggota The Habibie Centere,
yaitu Bapak Rudy Rizky. Mas Ray dan Pak Rizky akan berbicara dalam bahasa Indonesia,
sementara Mr. Kurose dalam bahasa Inggris. Saya persilahkan pembicara pertama, Mas
Ray untuk memberikan pemrasaran.
Ray Wijaya (IJTI) : Terima kasih. Pertama, saya ingin mengatakan bahwa sebenarnya
bagi kami, baik sebagai insan pers atau anggota IJTI, Jurnalisme Damai atau disingkat JD,
bukan hal yang baru, kami sudah mengetahui namun belum terlalu melaksanakan apa
yang diprinsipkan dalam JD itu. Terus terang saja JD menjadi perhatian utama juga dalam
kepengurusan IJTI yang baru ini. Sebab hampir setiap tahun kami melaksanakan kegiatan
ini. Di Indonesia, yang mendapat perhatian untuk melaksanakan prinsip-prinsip JD adalah
media televisi. Banyak yang tidak mengetahui, bahwa pada prakteknya teman-teman media
televisi di lapangan sudah mempraktekkannya. Berarti sudah ada kesadaran untuk bersikap
beradab. Namun, rekan-rekan pers di lapangan menghadapi konflik yang terbuka.
Sebelum Reformasi, kami tidak pernah membayangkan akan meliput konflik yang
berkembang menjadi peperangan. Untungnya, kita menyadari bahwa ada sesuatu yang
membuat kita mempunyai pegangan yang sama untuk bekerja di lapangan. Contohnya
adalah ketika tahun 1997, ssebelum reformasi. Waktu itu saya masih produser di RCTI.
Jurnalis televisi mulai mempraktekkan apa yang disebut dengan jurnalisme “beradab”.
Namun praktek jurnalisme “beradab” ini ada kaitannya dengan masalah teknis di lapangan.
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 11
Pernah, ada seorang jurnalis RCTI meliput ke Aceh pada tahun itu, dan ia beserta
kamerawan berhasil merekam peristiwa penembakan terhadap puluhan oleh TNI tanpa
alasan yang jelas. Setelah pengambilan gambar, baru terpikir oleh jurnalis tersebut, akan
diapakan gambar-gambar ini? Nah, pada saat reporter di lapangan, harus ada pihak yang
mengingatkan dan mengawasi pekerjaan mereka agar bisa menemukan angle berita yang
benar. Akhirnya, ada keputusan yang diambil sang Jurnalis, yaitu apa ditayangkan bila
berita ini akan memperbesar masalah Aceh dan TNI? Kasus seperti ini masih sering terjadi
pada saat ini.
Contoh lain, adalah kasus kerusuhan di Buleleng. Saat itu - entah tahun berapa, saya
lupa -, terjadi bentrok antara PDI-Perjuangan dan Golkar. Jurnalis RCTI yang meliput saat
itu, mengalami masalah dengan gambar. Artinya, mereka tidak sempat merekam bentrokan
tersebut. Kalau pun akhirnya RCTI mendapatkan gambar, itu pun diperoleh dari orang
atau saksi mata yang merekam dengan video amatir. Tetapi dalam video itu hanya terdapat
gambar orang-orang PDI-Perjuangan menyerang. Tentu saja kalau ditayangkan, berita ini
akan menimbulkan masalah, karena tidak imbang. Ini sangat sensitif, dan hal-hal seperti
inilah yang menjadi salah satu alasan terbentuknya IJTI.
Harus ada pembicaraan sebelumnya mengenai gambar-gambar yang akan ditayangkan.
Karena gambar bisa menjelaskan banyak hal tanpa dibarengan untaian kalimat-kalimat
berita. Tanpa kata, bila gambar sudah berbicara, maka orang sudah mengerti kejadian apa
yang disuguhkan dalam suatu berita. Gambar di televisi bisa digunakan untuk
memprovokasi khalayak. Ini terjadi ketika kerusuhan Mei. Media cenderung menayangkan
berita provokatif. Bahkan stasiun televisi atau reporter daerah meniru apa yang ditayangkan.
Kami di RCTI, pernah punya koresponden di Maluku. Ia bertugas membuat laporan
tentang kerusuhan di ambon. Isi berita yang disampaikan kami pertanyakan. Lalu, Kami
menemukan apa yang kita sebut sebagai sebuah pendekatan, yaitu konflik apapun yang
terjadi harus kita liput dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap para korban. Kita
tidak bisa mengabaikan kondisi korban dan keluarganya. Ini harus disadari betul, karena
gambar kamera bisa saja lebih tajam dari senjata. Sehingga bisa menyulut konflik baru.
Kasus-kasus seperti ini bisa menjadi forum pembelajaran bagi jurnalis televisi. Apakah
prinsip-prinsip JD dipraktekkan atau tidak, hal itu menyangkut soal kemauan belajar yang
besar dari redaksi media. Saya kira harus ada kesadaran yang mendorong. Para jurnalis
sendiri harus mengasah penguasaan meliput berita di daerah konflik semacam itu. Saya
beruntung sekali pada posisi seperti ini. Saya terus terang tidak mau menyebut jurnalis
televisi. Kurangnya penguasaan terhadap peliputan dikarenakan seleksi jurnalis yang tidak
ketat. Ini dikarenakan kebutuhan yang besar dari stasiun televisi atas tenaga reportero.
Saya kira lembaga seperti Media Watch dan masyarakat bisa menegur stasiun televisi jika
reporternya memberitakan informasi yang provokatif. Sehingga mereka bisa menjadi filter
stasiun televisi tersebut. Demikian ulasan saya.
Moderator: Memang, kalau tidak ada kesadaran dari masyarakat untuk melihat
tayangan yang layak dinikmati maka prinsip-prinsip JD tidak bisa diberlakukan. Bagaimana
JD bisa dipraktekkan, jika masyarakat suka akan berita tentang kekerasan? Baiklah, kita
lihat pendapat Mr. Kurose tentang pelaksanan JD di negaranya.
Yoshinari: Saya dari koran Jepang, saya minta maaf tidak bisa bahasa Indonesia. Saya
akan menyajikan sesuatu yang sederhana, bagaimana kita bisa melihat peraturan yang
mendasar dari etika dan moral bagi pers di sana.
12 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
Bicara tentang liputan yang fair berarti kita bicara tentang etika dan moral setiap jurnalis.
Pekerja media harus memiliki etika yang tinggi sehingga khalayak percaya akan beritanya.
Dan itu adalah suatu hal yang penting. Saya percaya kita punya konsensus bahwa ada
tujuh aturan umum yang mendasar yang harus diikuti semua jurnalis di antaranya adalah:
1. Melindungi Hak Azasi Manusia dan privasi perorangan.
2. Mengumpulkan informasi secara legal dan fair
3. Dalam keadaan tertentu, mampu melindungi identitas nara sumber berita
4. Bebas dari pengaruh pihak mana pun dalam menayangkan atau mempublikasikan
berita.
5. Mampu menangani arus informasi yang keluar secara benar. Jangan menggunakan
informasi yang diperoleh untuk diberikan kepada pihak lain, misalnya: partai politik.
6. Bersih. Tidak menerima uang atau barang berharga dari sumber berita.
7. Tidak melakukan peniruan atau plagiat.
Dalam meliput Pemilu, apa yang tertera pada poin 4, 5, dan 6 merupakan hal sangat
penting. Contoh untuk poin 5, di Jepang pernah beberapa kali terjadi, media memberikan
informasi tentang hasil poling pemilu yang tidak disiarkan atau diterbitkan kepada partaipartai
besar di sana. Orang-orang partai itu sangat haus informasi akan hal ini. Oleh karena
itu media harus mampu mengatasinya dengan baik. Karena media sering kali berpihak.
Kemudian untuk poin 6, kita harus aku bahwa ini masih banyak terjadi di Indonesia.
Pers menerima amplop yang isinya uang. Di Jepang, kasus ini tidak terlalu banyak terjadi,
karena ini bisa dijadikan senjata untuk memecat jurnalis dari organisasinya. Dalam peliputan
Pemilu, media harus independen dari pihak ketiga, dan memberi informasi pada siapa
saja yang membutuhkan serta tidak menerima suap.
Oleh karena itu saya membuat usulan agar tiap media memiliki code of conduct bagi
para stafnya. Adanya ini akan membangkitkan kesadaran jurnalis pada pentingnya pers
yang bebas. Saya harap para partisipan menangkap ide saya.
Moderator : Mr. Kurose mengatakan, agar JD bisa diaplikasikan dengan baik di
Indonesia, moralitas dan etika pers harus ditegakkan. Mr. Kurose memberikan 7 aturan
dasar yang harus dipatuhi jurnalis secara umum. Pers wajib melindungi nara sumber
meskipun dirinya terancam masuk penjara. Baiklah, selanjutnya kita serahkan corong pada
pembicara ketiga yaitu Bapak Rudy Rizky dari THC.
Rudi Rizky (THC) : Berbeda dengan pembicara lain, latar belakang saya adalah
pendidikan hukum. Saya mencoba untuk melihat dari perspektif lain. Pemilu harus
dipahami sebagai sarana untuk mewujudkan negara yang demokratis. Dalam masa
kampanye, disamping mengumbar janji, para juru kampanye seringkali melontarkan
pernyataan yang dapat menimbulkan konflik. Karena adanya kebebasan berbicara.
Kebebasan berekspresi adalah hak yang sangat vital, maka bila hak berekspresi ini
terbelenggu, maka hak yang lain mungkin tidak dapat terjamin pemenuhannya. Maka atas
hak tersebut, kampanye sering kali berisi hasutan-hasutan dan diskriminasi.
Banyak pernyataan yang sehat dan kritis yang bisa dimasukkan dalam kebebasan
berbicara. Bukan hanya hasutan dan provokasi. Karena, tidak ada suatu kelompok pun
yang boleh menghancurkan hak orang lain. Salah satu instrumen HAM mengatakan bahwa
penyebarluasan hasutan, atau informasi yang bisa menimbulkan kebencian terhadap suatu
ras, bangsa atau agama harus dilarang. Bila terjadi penyebarluasan kebencian itu, maka
pelakunya harus dihukum.
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 13
Dalam pemilu; apakah setiap orang berhak mendapat informasi yang sama? Apakah
orang harus mendapat informasi yang jujur dan adil? Biasanya sebagaimana yang dilakukan
pengamat independen, mereka melihat ada tidaknya ancaman atau intimidasi dari agenagen
pemerintah. Apakah masyarakat mengetahui mengapa dan bagaimana mereka
memilih? Apakah mereka mendapat akses yang sama pada masa Kampanye?
Pada tahap pemilihan, apakah lingkungan cukup aman? Apakah tidak ada ketakutan
masyarakat dalam pemungutan suara? Dan apakah pemilu patut diawasi oleh lembaga
pemantau independen. Pada tahap setelah pemilihan apakah hasilnya dapat
diimplementasikan dengan baik?
Jurnalisme perdamaian berorientasi pada perdamaian, kebenaran, masyarakat, dan pada
penyelesaian suatu konflik, dan bukan sebaliknya. Fungsi jurnalisme damai membawa
pada resolusi, rekonstruksi dan rekonsiliasi.
Sessi Tanya Jawab
Tanya
Ida (Univ.Paramadina) : Yang ingin saya tanyakan adalah, beberapa hal tentang
masalah JD. Yang saya tadi adalah bahwa pemberitaan itu adalah fakta di atas fakta. Tapi
di sana ada prinsip meliput berita dari berbagai sisi. Bukan berarti kita tidak memperhatikan
JD, tapi di Indonesia agaknya itu sulit untuk dipraktekkan. Saya melihat liputan saat terjadi
peledakan di Bali tahun 2003 lalu. Saya begitu sedih melihat tayangan korban-korban yang
bergelimangan darah, bahkan potongan tangan dan kepala manusia. Karena gambar itu
memiliki implikasi psikologis.
Lalu untuk pembicara kedua, Apakah ketika itu ditayangkan tidak ada yang merasa
sedih? Seperti peristiwa pemboman di Madrid, Spanyol beberapa waktu lalu, saya melihat
seperti itu tidak melihat gambar-gambar seperti itu.
Jawab
Ray : Saya justru ingin menyampaikan bahwa ada tugas besar bagi kita untuk
menertibkan tanyangan-tanyang kekerasan. Jadi belum selesai. Kami tidak berhenti
mengupayakan itu. Kalau Ibu teliti ada TV yang serius melakukan filter untuk penayang
berita-berita tragedi atau kekerasan. Ada TV yang bagus tapi belum tentu layak untuk
ditonton. Memang TV yang bagus itu harus menerapkan; 1. Pengetahuan 2. Skill. Saya
setuju gambar seperti itu tidak perlu ditayangkan. Kode etik kita sudah lahir cukup lama.
Namun untuk TV, kami akan lebih menekankan pada penayangan gambar. Anggota kami
(IJTI) yang melanggar akan kena sanksi. TV lebih berbahaya karena bisa ditayangkan
langsung. Saya akui, kami belum selesai dengan aturan itu.
Rudi : Memang kalau kita lihat dalam sisi jurnalisme ini bisa dianggap mengangkat
sisi kemanusiaan. Kita bisa melihat di Yugoslavia dan Ruwanda melakukan itu. Tetapi
memang tidak sesadis tayangan kita. Yang jelas yang saya ketahui ketika Sadam Husein
yang tertangkap oleh Amerika, kemudian gambar close up nya dipertontonkan dengan
pemeriksaan gigi dan sebagainya, pasti akan berdampak pada keluarganya. Memang untuk
tahapan perang ada standar-standarnya.
14 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
Moderator : Double standard problema yang dihadapi media. Kalau negara super power
seperti Amerika, yang notabene menerapkan freedom of press, telah melanggar kode etik,
seperti mempertontonkan wajah Saddam Husein, bagaimana negara kita yang sistem
pertelevisiannya baru berkembang. Jadi ada suatu otoritas yang memberikan contoh yang
baik.
Kurose : Kalau di Jepang, tetap ada standar dalam meliput. Standarisasi peliputan itu
ada pada kebijakan internal institusi media itu sendiri. Menurut saya, adalah salah
mempertontonkan Saddam Husein dengan wajah seperti itu, apa lagi dengan segala
pemeriksaan gigi dan lainnya. Semua media harus ada code of conduct. Ada contoh yang
tidak bagus dari jurnalis di Jepang. Pada masa pemilu tahun 1993, saat pemilu berlangsung,
stasiun televisi Asahi membuat berita-berita yang cenderung mendeskreditkan calon dari
Partai Demokratik Liberal (LDP). Meski pun bukan karena pemberitaan stasiun televisi
Asahi, partai yang memimpin yaitu LDP, kalah dalam pemilu yang berlangsung bulan Juli
1993.
Namun, pemberitaan stasiun televisi Asahi mendapat perhatian besar. Pemimpin
Redaksi TV Asahi saat itu, Sadayoshi Tsubaki, dipanggil ke Dewan Rakyat Rendah Jepang.
Setelah diusut, ternyata ditemukan bukti bahwa Tsubaki pernah memerintahkan para
jurnalisnya untuk menjatuhkan Partai Demokratik Liberal, dan menaikkan Partai politik
yang lain melalui pemberitaan televisinya. Atas penemuan ini, akhirnya Tsubaki
mengundurkan diri dari jabatannya.
Ini menjadi bukti bahwa televisi bisa mempengaruhi emosi orang. Terutama saat pemilu.
Terbukti dengan naikknya partai lain yang mengalahkan LDP, partai yang memegang
tampuk pemerintahan saat itu. Menurut saya, boleh saja media memiliki keberpihakan,
tetapi reporter tidak boleh mendorong orang untuk ikut berpihak pada partai politik tertentu
melalui pemberitaannya.
Tanya
Hermasens (Media Watch Bakopers) : Saya ingin bertanya kepada Mas Ray, bagaimana
sebenarnya memonitor penyiaran tentang kampanye? Kemudian untuk Mr. Kurose,
bagaimana pemilu di Jepang? Apakah media massa boleh membuat iklan-iklan dari partaipartai
yang bersangkutan?
Jawab
Ray : Kami ikut menandatangani kode etik di Indonesia, saya pernah bertemu dengan
teman-teman di kom-info, ada sekitar 48 organisasi jurnalis, 30 lebih itu tidak jelas asalnya.
Kita juga mematuhi Kode Etik yang dibuat oleh PWI. IJTI pun punya. Nah, kenapa kita
perlu code of conduct? Kami mencoba membuat aturan, seperti pelaksanaan jam-jam berapa
untuk kampanye. Kalau kami di pemberitaan, semampu kami semua partai kami liput,
sebagai jurnalis apapun peristiwanya harus kita liput.
Lalu, soal kampanye Pemilu, memang tidak ada yang mampu untuk memantau. Praktisi
seperti kami sangat senang jika media watch memberikan aturan. Saya selalu menghimbau
kawan-kawan media watch untuk aktif membantu kami.
Kurose : Di Jepang memang ada tayangan iklan partai namun tidak sebebas di
Indonesia. Di sini semua partai bisa kapan saja meminta iklannya tayang di televisi. Ini
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 15
memperlihatkan betapa besar keuangan yang partai politik punya. Kalau di jepang, iklan
untuk kampanye partai disuguhkan pada jam-jam tertentu.Dan penayangan iklan di televisi
sudah diatur, tidak boleh dengan gambar-gambar atau suasana yang penuh propaganda.
Jadi partai poltik hanya mengiklankan tentang misi dan programnya. Itu saja. Di suratkabar
juga berlaku aturan yang sama tentang ukuran dan frekuensi pemuatan iklan partai. Dan
peraturan-peraturan itu ditetapkan oleh KPU di Jepang.
Tanya
Ima (THC) : Soal aspek hukum. Anda menyebutkan soal otoritas dan regulasi. Jika
seseorang melanggar regulasi dan code of conduct, bagaimana mereka direkomendasikan
dan dihukum? Atau sanksi apa yang diterimanya? Untuk Pak Rudi, standarnya apa?
Hukuman apa yang mereka dapatkan. Apakah mereka melanggar sekali kemudian
dihukum atau setelah berkali-kali? Mungkin Pak Ray juga bisa menjawab.
Jawab
Kurose : Ini berarti soal code of conduct bagi jurnalis. Jika jurnalis melanggar peraturan
atau regulasi yang dibuat oleh organisasi maka tergantung dari situasi dan kasusnya. Tidak
bisa disamaratakan dan tidak bisa diajukan sebagai tindakan kriminal. Ada yang
hukumannya tidak lebih dari sanksi moral bagi jurnalis. Seperti plagiat. Kalau sifatnya
sudah kriminal, mungkin akan menjadi hukum pidana jika di Indonesia.
Rudi : Kalau pelanggaran terhadap code of conduct, biasanya asosiasi profesi jurnalis itu
yang menjatuhkan sanksinya. Tapi ketika menyebarluaskan kebencian di muka umum, itu
ada pasalnya di KUHPidana. Menyerang orang secara fisik atau pun mencemarkan nama
baik seseorang itu bisa dikenakan pidana. Pengadilan biasalah yang akan menangani
kasusnya.
Ray : Tambahan dari saya, kita sebenarnya masih berjuang untuk penegakan code of
conduct itu. Untuk pelanggaran kode etik, beberapa LSM sudah ada yang mengawasi. Tapi
maraknya media yang dihukum harus dianalisa lagi. Itu berbahaya. Kita sedang berjuang,
namun apapun juga saya ingin ikut memilih Dewan Pers, karena Dewan Pers adalah pihak
yang memiliki posisi paling bagus saat ini. Saya setuju dengan Pak Kurose. Karena itu
gunakanlah saluran yang tepat, bila media melakukan kesalahan. Jangan sedikit-sedikit
lari ke KUHP. Ada cara memberikan pertanggungjawaban yang lebih baik.
Moderator : Kita sudah bicara soal hukum. Tapi di Indonesia, jangankan hukum
pelanggaran hukum kode etik jurnalisme, pelanggaran lain saja masih belum ditangani
dengan baik. Contohnya, pelanggaran penebangan hutan, pelanggaran profesi kedokteran,
atau pelanggaran undang-undang perburuhan. Pelanggaran kode etik jurnalistik, ini
berkaitan dengan moral dan etika. Kita tidak tahu seberapa besar hukumannya, apakah ke
pidana atau ke perdata. Bagaimana dengan orang yang membabat hutan seenakknya,
sehingga menyebabkan banjir dan longsor. Di sini juga ada Bapak kita dari Habibie Center,
yang adalah seorang dokter. Sudah cukupkah hukum kita memayungi orang-orang menjadi
korban mal praktek di bidang kedokteran?
Tanya
Nover (Mahasiswa Mercubuana) : Saya mau menanakan pada Mr.Kurose soal tujuh
hal tadi yang seharusnya dilakukan jurnalis. Khususnya poin ke tiga, yaitu melindungi
16 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
identitas nara sumber. Saya pernah membaca bahwa di negara Amerika ada seorang
wartawan negro yang mendapatkan Penghargaan atas karyanya. Mungkin namanya
Pulitzer. Namun, penghargaan itu ditarik kembali oleh penyelenggara, karena diketahui
bahwa nara sumber yang ia wawancarai itu fiktif atau tidak ada. Saya mau menanyakan
bagaimana kalau prinsip melindungi nara sumber di sini dimanfaatkan untuk hal yang
tidak baik oleh pers?
Kedua, di TV memang benar tanpa banyak kata-kata orang bisa mengerti, namun
bagaimana jika memberitakan konflik? Saya mau menanyakan bagaimana TV yang
melakukan JD tanpa mengabaikan realitas yang ada. Beberapa hari yang lalu, di Kendal
ada kejadian, ada anggota partai yang melukai anggota partai lain. Tetangga saya emosi
mendengar berita itu. Jadi bagaimana caranya insan TV menyiarkan hal ini? Saya minta
jawaban dari Bapak Ray.
Jawab
Ray : Saya kira justru saya ingin mengingatkan bahwa kekuatan dan kelemahan visual
itu bisa datang secara bersama. Maka sejauh tidak mengurangi pesan yang disampaikan
itu tidak apa-apa. Ada kalanya penyampaian pesan, misalnya 3 orang terbunuh, dengan
itu orang bisa marah. Tetapi jangan kita memperparah kemarahan dengan menampilkan
gambar dengan kata-kata yang bersifat memanas-manasi. Kalau kita memberitakan ada
orang tewas dibacok, tidak perlu memperlihatkan gambar mayat dengan bergelimangan
darah, atau dengan luka bekas bacokan. Cukup dengan memperlihatkan kaki dengan label
yang menggantung atau jenazah tertutup kain putih saja. Bagi kami justru gambar-gambar
bisa menginspirasi orang untuk berbuat kejahatan. Begitu pesan tanpa gambar sudah cukup,
maka itu saja. Kadang gambar juga tidak boleh, maka orang hanya punya satu menit untuk
membuat berita
Seharusnya JD bukan hal asing bagi kita, tetapi ada di sekitar kita, kita bukan bangsa
yang biadab. Sebab dari dulu kita punya cara berkomunikasi yang damai. Kadang karena
pengaruh media TV dan Radio sangat kuat, dan bisa datang bersaamaan, maka bila pihak
institusi media tidak pandai dalam mengelola kebijakan penayangan berita, akhirnya berita
menimbulkan konflik.
Kurose: Dalam membuat berita, seorang jurnalis pasti berusaha mencari angle yang
paling baik dari suatu peristiwa. Jika ada berita yang dibuat dari hasil wawancara yang
tidak nyata atau palsu, maka wartawan itu pastilah seorang yang jenius. Karena, untuk
bisa mengarang berita yang seolah berasal dari nara sumber, membutuhkan kreativitas
yang tinggi. Ada kejadian yang memalukan di Jepang: ada reporter yang memberitakan
tidak benar. Koran di Ashahi Shimbun mewawancarai komunis dan ternyata bohong.
Hukuman formalnya tidak ada, tetapi reporter tersebut mendapat sangsi moral baik dari
masyarakat mau pun rekan-rekannya.
Tanya
Mahosato (The Japan Fondation) : Kepada Bapak Kurose, apakah Bapak punya
rekomendasi untuk wartawan Indonesia mengenai media coverage untuk pemilu tahun ini?
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 17
Jawab
Kurose: Saya tidak akan merekomendasikan apapun. Satu hal yang mungkin saya
sarankan, mungkin sebaiknya ada voter education atau pendidikan politik untuk pemilih.
Tanya
Taufik Alimi (Yayasan Pembangunan Berkelanjutan): Kalau boleh saya menyarankan,
sebaiknya media bisa menjadi alat untuk pendidikan politik bagi masyarakat kita. Sejauh
saya melihat pers hanya meliput kegiatan kampanye, dan partai saja, tetapi belum ada
yang mengulas tentang program kerja partai-partai politik tersebut.
Kemudian saya ingin bertanya, bagaimana kalau ada pelanggaran dari pers. Contohnya
kalau pers menerima amplop? Apakah itu melanggar atau tidak.
Jawab
Ray Wijaya: Saya setuju dengan mas Taufik, bahwa proses edukasi politik perlu kita
lakukan terus. Tetapi tidak juga secepat yang kita harapkan, televisi swasta memiliki
kemampuan untuk itu. Namun itu tergantung dari kebijakan stasiun televisi bersangkutan.
Jangankan kampanye program partai politik, kampanye anti amplop atau anti suap saja
belum selesai.
Kita harus punya pengetahuan yang cukup agar tidak perlu lagi soal poin 6 itu.
Pengetahuan yang cukup menjadikan kita profesional. Wartawan menerima amplop, bukan
lagi rahasia. Karena itu kita masih perlu buat peraturan, kalau ada wartawan yang menerima
amplop, tunjuk saja. Saya malu karena selalu yang dibicarakan amplop. Kalau itu terjadi
pada anak buah saya, tidak ada ampun lagi, dia saya keluarkan.
Rudy : Kalau kita amati peraturan perundang-undangan di Indonesia pada umumnya
tidak terlalu banyak, tetapi harus diimplementasikan. Kalau ada pers melanggar peraturan,
maka hukumannya tergantung dari pelanggarannya. Kalau menerima amplop, ya..seperti
dikatakan Mas Ray, sanksinya bisa sanksi moral, artinya sang wartawan bisa tidak dipercaya
lagi kemampuannya. Untuk itu maka, gunakan Jurnalisme Damai sajalah, agar tidak
menyimpang dari peraturan tetapi dan tidak menimbulkan konflik.
18 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
SEMINAR JURNALISME DAMAI
MENJELANG PEMILU 2004
16 Maret 2004, Auditorium Adhiyana, Wisma Antara
Ibnu Hamad (UI)
Jurnalisme Damai bisa menjadi jendela, artinya menampilkan apa adanya kepada
publik. Bisa juga sebagai cermin, yakni pantulan dari peristiwa itu sendiri. Kemudian,
sebagai filter, Jurnalisme Damai bertugas menyeleksi realitas yang akan menjadi pusat
perhatian publik. Sebagai penunjuk arah, membuat audien tahu apa yang terjadi.
Sebagai forum, menjadikan dirinya wahana diskusi. Jurnalisme Damai juga bersifat
sebagai tabir yang memisahkan publik dari realitas yang sebenarnya.
Berita adalah sesuatu yang laku dijual begitu juga konflik. Pertanyaannya adalah mau
dibawa kemana pemberitaan mengenai Pemilu ini? mengingat dalam kondisi transisi
ini setiap pihak mencari peluang atau akses ke kekuasaan (termasuk wartawan).
Selain pilihan dalam menyajikan realitas, optimalisasi pengelolaan isi media juga perlu
dilakukan. Dua hal yang perlu disadari jurnalis adalah, pertama: isi media adalah
hasil konstruksi realitas, tidak begitu saja terjadi melainkan hasil “racikan” pembuatnya
karena disitu melibatkan dinamika internal dan eksternal media, sistem operasi media
massa, dan strategi media mengkonstruksi realitas tersebut.
Kedua, isi media adalah Discourse. Liputan sebagai hasil kontruksi realitas bisa memiliki
banyak fungsi (di luar fungsi informasi), yaitu idealisme, pragmatisme, mendamaikan
atau memerangkan.
Maria Hartiningsih (KOMPAS)
Pilihan terhadap Jurnalisme damai harusnya adalah kewajiban setiap jurnalis.
Sebagian mengatakan kata ‘damai’ sendiri sudah tidak mencerminkan objektivitas
karena sudah menuju ke suatu hal. Namun kita tidak bisa menghindarkan diri dari
subyektivitas. Wartawan adalah manusia biasa. Harus diakui bahwa ada pola pikir di
kepala wartawan yang tidak bisa dipisahkan secara tegas antara subjektivitas dengan
objektivitas berita.
Jurnalisme damai bekerja atas prinsip jurnalisme, tidak hanya cover boths sides tapi cover
all sides. Tidak hanya menyajikan fakta tapi termasuk latar belakang peristiwa. Contoh
konflik Dayak-Madura. Misalnya, terjadi peristiwa pembunuhan terhadap salah satu
pihak. Dalam headline Jurnalisme Damai, jangan hanya menyebutkan satu pihak, tetapi
INTISARI DISKUSI
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 19
keduanya harus juga disampaikan. Namun, sebutan dengan “dua pihak” saja sudah
tidak benar, harus disebut dengan jelas pihak mana saja.
Jurnalisme hanya alat. Persoalannya ada pada pola pikir jurnalis itu sendiria, apakah
sektarian, etnosentris, dan lainnya. Apa pun cara berpikirnya, semuanya tidak boleh
mengurangi rasa kemanusiaan. Persoalannya adalah bagaimana melepaskan diri dari
benci dan dendam terhadap sesuatu.
Jurnalisme Damai tetap menjalankan prinsip 5W + 1H. Jurnalisme Damai lebih
menekankan aspek Why (mengapa). Juga menambahkan unsur S (solution) dan C untuk
Common Ground. Yaitu misalnya pertanyaan dalam wawancara tidak hanya terfokus
pada ketidaksepakatan tapi juga persamaan pendapat dari mereka yang berkonflik
dalam usaha mencairkan masalah.
Liputan Jurnalisme Damai dalam Pemilu menekankan fungsi media yang membawa
pada perubahan yang lebih baik. Memberitahu khalayak untuk berhati-hati agar tidak
kembali pada persoalan bangsa di masa lalu.
Hanif Suranto (LSPP)
Pemberitaan media memiliki dampak terhadap berkembang-tidaknya konflik menjadi
kekerasan.
Pertanyaan penting ketika berbicara tentang jurnalisme damai adalah: Untuk tujuan
apa fakta dilaporkan? dan Fakta apa yang harusnya dilaporkan?
Selain 5W + 1H, juga unsur S dan CG. Sebenarnya jurnalis diberi kesempatan untuk
membangun solusi bersama. Tetapi bukan kalimat seperti “kita harus damai” dan
yang sejenisnya.
Peran jurnalis dalam jurnalisme konvensional adalah melaporkan fakta. Sifatnya pasif.
Dalam jurnalisme alternatif, jurnalis tidak sekedar melaporkan fakta tapi juga
menyajikan kemungkinan-kemungkinan misalnya resolusi konflik.
Posisi jurnalis pada jurnalisme damai ada pada konteks tertentu. Berbeda dengan
jurnalisme konvensional yang menempatkan jurnalis pada posisi pengamat.
Jurnalisme Damai tidak memandang konflik secara bi-polar melainkan multi-polar
Jurnalisme mainstream banyak menggunakan nara-sumber elit/ pejabat. Jurnalisme
Damai menganjurkan untuk merangkul (to cover) kelompok masyarakat biasa.
Jurnalisme Damai mencoba menekankan bahwa tugas jurnalis adalah memfasilitasi
hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses produksi informasi tidak sekedar
memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui faktanya saja.
Jurnalisme Damai menekankan bahwa masalah dilihat dalam konteks sebuah proses.
Jurnalisme memang perlu memihak, bukan memihak pada siapa tapi pada apa, yaitu
pada nilai-nilai (misal nilai demokrasi, kemanusiaan, dll).
Ray Wijaya (IJTI)
Jurnalis televisi mulai mempraktekkan apa yang disebut dengan jurnalisme “beradab”.
20 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
Harus selalu ada pembicaraan sebelumnya mengenai gambar-gambar yang akan
ditayangkan, karena gambar punya banyak penjelasan dibandingkan rangkaian kalimat.
Gambar sekaligus juga bisa memprovokasi khalayak.
Ada kesepakatan, bila konflik terjadi hingga kekerasan, jurnalis televisi lebih
mengedepankan isu dampak bagi korban dalam kekerasan itu.
Disadari perlunya forum-forum diskusi dan pembelajaran bagi jurnalis televisi karena
gambar dari kamera jurnalis televisi bisa saja lebih tajam dari senjata.
Masyarakat, LSM dan Media Watch juga bisa menjadi filter bagi televisi
Yoshinari Kurose (The Yomiuri Shimbun)
Bicara tentang liputan yang fair berarti bicara tentang etika dan moral jurnalis.
Pekerja media harus memiliki etika yang tinggi sehingga khalayak percaya.
Beberapa aturan dasar yang disepakati jurnalis adalah: melindungi HAM dan privacy,
melindungi identitas narasumber, independen dari pihak ketiga, menggunakaan
metode yang fair dan legal dalam pengumpulan informasi, tidak menerima suap dan
tidak menjiplak karya orang lain plagiarism.
Dalam peliputan Pemilu, aspek independen dari pihak ketiga, memberi informasi pada
siapa saja yang membutuhkan dan tidak menerima suap adalah aspek penting.
Usulan: tiap media memiliki code of conduct yang akan membangkitkan kesadaran
jurnalis pada pentingnya kemerdekaan pers.
Rudi. M Rizky (The Habibie Center)
Pemilu dipahami sebagai sarana untuk mewujudkan negara yang demokratis.
Seringkali kampanye diartikan sebagai ajang menyampaikan pikiran dan hak
berkumpul dan berserikat. Kampanye sekaligus berisi hasutan dan diskriminasi.
Salah satu instrumen HAM mengatakan bahwa penyebarluasan SARA harus dilarang.
Dalam pemilu, hal-hal yang dipertanyakan adalah: apakah masyarakat mendapat
informasi yang sama dan jujur? Apakah ada intimidasi dari pemerintah? Apakah ada
tekanan dalam hak berserikat? Apakah masyarakat mengetahui bagaimana cara Pemilu,
apakah masyarakat punya akses yang sama tehadap media?
Jurnalisme Damai berorientasi pada perdamaian, kebenaran, masyarakat, dan pada
penyelesaian.
Fungsi Jurnalisme Damai membawa pada solusi konflik.
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 21
RANGKUMAN
SEMINAR SEHARI JURNALISME DAMAI
MENJELANG PEMILU 2004
16 Maret 2004, Auditorium Adhiyana, Wisma Antara
Media massa sebagai institusi sosial memiliki sejumlah pilihan dalam menghadirkan
realitas. Media tidak sekedar menyediakan informasi tapi juga promosi, hiburan
termasuk untuk tujuan damai dan konflik. Pilihan ada pada media.
Selain pilihan dalam menyajikan realitas, optimalisasi pengelolaan isi media juga perlu
dilakukan. Dua hal yang perlu disadari jurnalis adalah, pertama: isi media adalah
hasil konstruksi realitas, tidak begitu saja terjadi melainkan hasil “racikan” pembuatnya,
karena disitu melibatkan dinamika internal dan eksternal media, sistem operasi media
massa, dan strategi media mengkonstruksi realitas tersebut.
Kedua, isi media adalah Discourse. Liputan sebagai hasil kontruksi realitas bisa memiliki
banyak fungsi (di luar fungsi informasi), yaitu idealisme, pragmatisme, mendamaikan
atau memerangkan.
Jurnalisme Damai tetap bekerja di atas prinsip jurnalisme, tidak hanya cover boths sides
tetapi all sides. Jurnalisme Damai tidak hanya menyajikan fakta tapi juga latar belakang
peristiwa. Dalam headline jurnalisme damai, dua pihak yang bertikai harus disebutkan.
Kata “dua pihak” saja sudah tidak benar, harus disebut dengan jelas pihak mana saja.
Jurnalisme damai tetap menjalankan prinsip 5W + 1H. Jurnalisme Damai lebih
menekankan aspek Why (mengapa). Juga menambahkan unsur S (solution) dan C untuk
Common Ground. Yaitu misalnya pertanyaan pada wawancara tidak hanya pada terfokus
pada ketidaksepakatan dua belah pihak yang bertikai tetapi juga persamaan pendapat
dalam usaha mencairkan masalah atau mencari jalan keluar permasalahan.
Liputan Jurnalisme Damai dalam Pemilu menekankan fungsi media yang membawa
pada perubahan yang lebih baik. Memberitahu khalayak untuk berhati-hati agar tidak
kembali pada persoalan bangsa di masa lalu.
Jurnalisme Damai mencoba menekankan bahwa tugas jurnalis adalah memfasilitasi
hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses produksi informasi tidak sekedar
memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui faktanya saja.
22 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 23
BAB II
MAKALAH-MAKALAH
24 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
Mengapa Jurnalisme Damai?
Maria Hartiningsih
PANITIA menyodorkan kepada saya tema Jurnalisme Damai dan Peliputan Pemilu
2004. Jurnalisme damai adalah jurnalisme altematif yang berkembang sejak awal tahun
1970-an, dan disosialisasikan secara intensif di berbagai negara di dunia, khususnya di
wilayah-wilayah konflik mulai akhir tahun 1980-an.
Jurnalisme damai diharapkan menjadi salah satu referensi bagaimana seorang jumalis
mentransformasikan fakta dan realitas sebagai realitas media. Bahwa media dan jumalis
mempunyai kebebasan berekspresi adalah hal yang tidak bisa dibantah, apalagi setelah
sekian lama diberangus oleh Negara dan agen-agennya melalui penyuluhan, pendidikan
dan sensor.
Akan tetapi, apakah media massa sudah cukup dengan seperangkat pengetahuan dan
pengalaman selama puluhan tahun ditindas? Kita, agaknya harus berpikir ulang untuk
memastikan bahwa “Jumalisme titik” sudah cukup. Menghadapi konflik yang meruyak di
berbagai tempat di Indonesia, danjuga di dunia, bentuk-bentukjumalisme konvensional
hanya dengan matra 5W+ IH yang “biasa”, tidak lagi memadai.
Di dalam situasi di mana konflik dan kekerasan berlatar belakang agama dan
etnis,jumalisme tidak bisa lagi digunakan secara naif. Jumalisme damai memberikan
altematif bagaimana jumalis bekerja di dalam situasi yang penuh risiko, tidak hanya
terhadap dirinya, tetapi terutama terhadap masyarakat luas, sehubungan dengan apa yang
ditulis dan dipublikasikan melalui media massa tempatnya bekerja.
Mengapa begitu? Karena ia harus mempertimbangkan dampak dari tulisan- tulisannya
terhadap masyarakat luas. Berbeda dengan jurnalis asing yang memahami fakta konflik di
negeri kita seperti melihat peristiwa di dalam kotak kaca, kita sebagai jumalis, yang juga
warganegara Indonesia, berada di dalam kotak kaca itu.
DARI pakar jumalisme damai, Jack Lynch dan Annabel McGoldrick, yang saya jumpai
beberapa kali dalam upaya mensosialisasikan jumalisme damai —dan dalam perjalanan
saya kemudian —saya dapat melihat bahwa wacana jumalisme damai ini tidak diterima
begitu saja oleh stakeholders media. Memunculkan jumalisme damai di tengah konflik juga
memicu penolakan bagi mereka yang lebih suka menggunakan paradigma jurnalisme
perang atau war journalism.
Penganut paradigma war journalism tidak hanya suka mengobarkan konflik, tetapi juga
memotret kekerasan secara telanjang, mirip pornografi. Antropolog E. Valentine Daniel
dalam Charred Lullabies, Chapters in an Anthropography of Violence (1996) menyebutnya sebagai
“pornography of violence”.
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 25
Peristiwa yang keji dan berdarah memasuki wilayah hidup yang paling privat, di kamar
tidur, sejak pagi hingga pagi lagi. Situasi seperti itu tidak menawarkan apa-apa, malah
membuat orang ketakutan, apatis, dan tidak tahu harus berbuat apa. Di sisi lain, kekejaman
yang dipertontonkan secara terus menerus itu akan memicu dendam dan pembalasan oleh
pihak-pihak yang merasa “dikalahkan” atau dianiaya.
Dalam beberapa seminar saya mendapatkan pertanyaan kritis mengenai posisi yang
berhadapan antara “war joumalism” dan “peace joumalism”. Dalam filsafat ilmu, posisi
seperti ini sama-sama memiliki kelemahan. Karena itu, saya ingin menjelaskan beberapa
hal yang barangkali bisa membantu memahami jumalisme damai tanpa terjebak dalam
posisi biner yang deterministik.
Banyak orang bersikukuh pada teori bahwa jurnalisme bekerja atas mazhab obyektivitas.
Dan jurnalisme damai, diyakini oleh banyak orang, tidak obyektif, atau sekurang-kurangnya,
kata “damai” mengandung maksud yang akan mengurangi obyektivitas. Jurnalisme ya
jumalisme. Begitu alasan yang banyak dikemukakan.
Pengalaman dan pengetahuan yang saya pelajari secara bertahap dalam hidup telah
mengajarkan pada saya bahwa pengkutuban tidak memberikan apa-apa, kecuali hasil yang
fatal: menang atau kalah, benar atau salah. Pertanyaannya adalah,. menang menurut siapa,
dan kalah menurut siapa? Benar menurut siapa dan salah menurut siapa?
Sebagai jurnalis, kita adalah manusia dengan hati nurani. Kita-tidak hidup di luar
masyarakat manusia. Kita, masing-masing adalah manusia dengan beragam pengalaman
dan pengalaman itu otentik. Pengalaman itu membentuk mindset kita sebagai manusia
mengenai berbagai hal dan kemudian mempengaruhi cara kita memandang persoalan dan
fakta. Kemana kaki kita melangkah, mencari narasumber dalam kerja jurnalistik, tetaplah
dipengaruhi oleh cara pandang kita.
Cara pandang itu tidak statis, karena dipengaruhi oleh banyak hal, oleh pengetahuan
yang tidak hanya terbatas pada buku, dan juga perjumpaan-perjumpaan. Bagi saya,
pengetahuan itu seluas dan sedalam samudera raya, dan kita dihadapkan pada pilihanpilihan
juga, yang bagaimana pun, sangat tergantung pada mindset kita tentang persoalanpersoalan
itu. Dari sini dapat dilihat dialektika antara subyektivitas dan obyektivitas, bukan
pemisahan antara keduanya.1
Ada perbedaan yang mendasar antara jurnalisme konvensional (juga jurnalisme perang)
dengan jumalisme damai. Jumalisme konvensional dipraktekkan semata-mata hanya
berdasarkan pada mazhab cover both sides, tanpa mempedulikan dua pihak yang
diketegorikan dalam “both sides” itu. Semakin keras pemyataan keduanya, semakin berita
itu memperoleh nilai tambah untuk ditempatkan di halaman depan, malah mungkin
menjadi headline. Jumalismejenis ini (juga jurnalisme perang) menjual konflik dan kekerasan,
bukan proses untuk mencairkan konflik dan menghapuskan kekerasan.
Banyak media cenderung untuk menonjol-nonjolkan perbedaan yang tidak bisa
dipertemukan antara pihak-pihak yang bertikai, posisi-posisi ekstrem dan pemyataanpemyataan
yang panas, kejam dan tindakan-tindakan yang mengancam, yang berpijak
pada asumsi-asumsi kalah-memang dan benar-kalah tadi.
1 Dengan diktum “the personal is politicar’ saya menolak pendekatan dua kutub yang berseberangan. Bagi feminisme,
yang harus dilihat adalah dialektika antara dua kutub, begitu pula dengan obyektivitas dan subyektivitas. Lihat Catharine
MacKinnon, Toward a feminist theory of the State (1989).
26 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
Joann Byrd, ombudsman dari the Washington Post mengingatkan bahwa di dalam
peristiwa pertikaian antara pihak, kenyataan yang ada bukan hanya konflik dan kekerasan,
rasa curiga dan kebencian, tetapi juga rasa kehilangan, kerinduan akan persahabatan,
ketakutan, airmata, dan lain-lain. Kita menemukan semua ini secara lebih kental di wilayahwilayah
konflik di negeri ini.
Dalam konflik, identitas manusia adalah pertaruhan. Padahal, di dalam sebuah negeri
seperti Indonesia, sangat sulit ditemukan kemurnian identitas. Apakah arti pribumi asli?
Mungkinkah ada pribumi asli ketika ada mobilitas manusia?
Identitas adalah konstruksi sosial.2 Identitas inilah yang dengan mudah dikompetisikan,
yang satu menempatkan yang lain pada kelas yang lebih rendah dengan stereotip-stereotip.
Lalu ada sekat-sekat, yang membuat kita saling bercuriga dan menganggap keyakinan yang
satu lebih baik dibanding yang lain. Pengetahuan yang berkaitan dengan itu semua sangat
membantu bagaimana memandang fakta dan kemudian menuntun langkah dalam bekerja.
Praktek jumalisme damai lebih berat, karena membutuhkan begitu banyak sumber,
termasuk penggalian sejarah sosial, ekonomi, politik, budaya secara komprehensif untuk
memahami fakta yang terjadi. Artinya, unsur why (mengapa) dan HOW (bagaimana) dari
5W+IH harus lebih dieksplorasi.
Sebagai notion jurnalisme pada umumnya, jurnalisme damai juga menggunakan cover
both sides (bahkan all sides) sebagai acuan yang tidak boleh ditinggalkan. Seluruh fakta
dipaparkan secara komprehensif, dari semua sisi. Narasumber diambil dari banyak pihak
secara seimbang, akan tetapi mindset jumalis dikerangkai oleh seluruh kehendak untuk
menyelesaikan konflik atau persoalan dengan cara damai.
Persoalan kemanusiaan mengedepan tidak hanya dalam liputan-liputan yang khusus
tentang penderitaan warga di pengungsian, tetapi terutama pada peliputan fakta yang
keras (misalnya pembunuhan, pengeboman dan lain-Iain) dalam straight news.
Semua ini membutuhkan tak hanya stamina, tetapi terutama compassion,. pemahaman
bahwa sebagai manusia, kita seharusnya disatukan oleh kemanusiaan kita, dan kenyataan
bahwa kita menginjak bumi yang sama, minum dari air tanah yang sama, dan menghirup
udara yang sama.
Dengan itu semua, jumalis diharapkan mampu menambahkan S untuk solutions, dan C
untuk Common Ground pada formula 5W+IH yang tradisional, seperti disyaratkan dalam
jumalisme damai. Pada C ( common ground), khususnya, jumalis hendaknya memfokuskan
pertanyaan wawancara tidak hanya pada ketidaksepakatan, ketidaksetujuan atau perbedaan
pendapat dari narasumber, tetapi juga persamaan pendapat dari mereka, dalam upaya
mencairkan kontlik.
Professor Studi Perdamaian, Johan Galtung pertama kali menggunakan istilah
‘jumalisme damai’ pada tahun 1970-an. Galtung mencermati banyaknya jumalisme perang
yang mendasarkan kerja jumalistiknya pada asumsi yang sama seperti halnya jumalis yang
meliput olahraga. Yang ditonjolkan hanyalah kemenangan dan kekelahan dalam
“permainan kalah-menang” antara dua pihak yang berhadapan. Saya beruntung dapat
bertemu dan mewawancarai Prof. Galtung ketika ia datang ke Jakarta tahun lalu.
LALU bagaimana mengaitkan jumalisme damai dengan peliputan pemilu?
2 Lebihjauh baca Amin Maalouf, In the Name of Identity, 2000.
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 27
Dalam beberapa tahun terakhir ini, agama (dan berbagai persoalan menyangkut SARA
yang selama 30 tahun dimasukkan ke dalam karpet atas nama “persatuan” dan “kesatuan”)
digunakan dalam politik dengan sangat terbuka. Hal seperti itu sebenamya tidak hanya
terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain. Di India, misalnya, pola voting
didasarkan atas identitas agama.
Ketika BJP memegang kekuasaan, mereka menggunakan banyak sekali hal-hal yang
berkaitan dengan isu agama sebagai isu kampanye. Dalam wawancara saya dengan Urvashi
Butalia3, isu agama itu telah mempertegang hubungan India dengan Pakistan, tetapi isu
itu juga yang paling mudah digunakan dibanding isu-isu dalam negeri yang problematik.
Saya menengarai, beberapa tahun terakhir ini, agama juga muncul sebagai komoditi
politik yang paling banyak digunakan untuk membangunkan solidaritas sempit dari massa
pendukung. Beberapa partai politik sekarang juga menggunakan isu itu untuk menarik
massa. Ada pula partai yang menggunakan sentimen kedaerahan untuk mencari dukungan
massa. Situasi ini sangat rentan memicu konflik dan kekerasan di beberapa wilayah di
Indonesia yang masih menyimpan potensi itu.
Dalam diskusi “Mencari Orientasi Nilai” yang diselenggarakan Kompas pekan lalu,
Ketua Umum PP Muhammadyah, Syafii Maarif mengingatkan kemungkinan penggunaan
ayat-ayat dalam Kitab Suci untuk merebut kepercayaan rakyat pada janji-janji kampanye
seorang politisi. Ia juga mengingatkan ketertarikan orang pada simbol, bentuk, bukan pada
isi dan substansi ajaran.
Masih menurut Syafii, setelah rezim otoritarian runtuh, kekuatan reformasi tidak
berhasil melakukan konsolidasi yang efektifkarena egoisme para aktomya terlalu besar.
Rintangannya juga tampak sangat dahsyat. Angka pengangguran yang mencapai 39,6 juta
menjadi indikator yang sangat jelas terpuruknya kondisi ekonomi bangsa ini. lni masih
ditambah dengan konflik di berbagai daerah yang terus menerus muncul dengan berbagai
sebab. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, bangsa ini harus menghadapi lebih satu juta
Internally displaced persons (IDPs) akibat berbagai konflik, yang menggunakan perbedaan
etnis dan agama sebagai pemicunya.
Situasi seperti ini membuat orang cepat lupa pada pelanggaran-pelanggaran besar yang
terjadi pada zaman Orde Baru. Malah, seperti dikatakan Syafii, mantan presiden yang dihujat
itu dikenang kembali dan dirindukan kehadirannya kembali karena keadaan negara di
bawah rezim yang berkuasa tidak pandai belajar dari para pendahulunya.
Saya kira, latar belakang seperti ini harus dipahami betul oleh para jurnalis yang meliput
pemilu, khususnya dalam situasi transisi menuju demokrasi. Jumalisme damai
mensyaratkan pengetahuan yang lebih luas dari sekadar fakta kampanye pemilu yang ada
di depan mata.
Seperti dikemukakan Denis McQuail (2000), massa media sangat berperan dalam
pembentukan masyarakat yang diinginkan demi masa depan yang lebih baik. Sebagai sarana
demokrasi, mass media merupakan wahana untuk perdebatan yang sangat luas mengenai
berbagai persoalan, sehingga dapat dipahami kalau mass media merupakan bagian penting
dari proses perubahan, bahkan menjadi agen perubahan. Akan tetapi, mass media tidak
menulis sendiri.
3 Urvashi Butalia, The. Other Side of Silence, Voices from the partition of India ( 1998)
28 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
Bahan Bacaan:
1. European Centre for Conflict PreventiO’n, People Building Peace, 35 Inspiring Stories
from Around the World; 1999
2. Annabel McGoldrick & Jake Lynch, Jurnalisme Damai, Bagaimana Melakukannya?
Penerjemah Ign Haryanto., LSPP dan The British Council, Jakarta, 2001
3. Catharine A. MacKinnon, Toward a Feminis,(Theory of the State, Harvard University
Press, 1989
4. Amin Maalouf, In the Name ofIdentiy, Penguin Book, 2000
5. Denis McQuail, Mass Communication, 4th edition, Sage Publications, 2000
6. Urvashi Butalia, The Other Side of Silence, Voices of the Partition of India, Kali for Women,
1998
Apa yang dipublikasikan di mass media sangat tergantung bagaimana jumalis
menangkap isu, dan bagaimana mindset dijumalis mengenai berbagai persoalan, khususnya
di dalam pemilu. Di dalam mass media khususnya media tercetak, juga ada kolom opini,
yang biasanya dikelola secara khusus. Di sini pemilihan artikel juga sangat tergantung
pada bagaimana editomya memandang suatu persoalan, bagaimana mindset di editor
mengenai berbagai hal.
Saya ingat, Pada pemilu tahun 1999 lalu, massa yang tak dikenal melakukan pelanggaran
etika terhadap perempuan dari Partai Golkar dalam kampanye di sebuah kota di Jawa
Tengah. Banyak media kemudian mulai menuliskan berbagai analisisnya yang sebagian
besar didasari oleh teori konspirasi.
Kira-kira analisisnya seperti ini: yang melakukan tindakan yang tidak terpuji itu adalah
orang yang Golkar sendiri, untuk mendiskreditkan partai yang saat itu sedang naik dalam
dan mendapat banyak pendukung, yakni PDIP. Maka, sumber-sumber yang dipilihpun
diarahkan pada para tokoh yang mampu membuat pertentangan antara kedua partai itu
semakin tajam. Kalau pun atas dasar cover both sides, tetapi ke mana arahnya sudah sangat
jelas.
Cara kerja seperti ini sebenarnya sangat berbahaya, karena akan mengarah pada
tindakan yang sating membalas. An eye for an eye. Saya tidak melihat media yang melihat
secara jernih persoalan ini, lalu mengeksplorasi angle ini. Misalnya, dengan melakukan
investigasi dan mencari sumber-sumber di lapangan yang mengingatkan, bukan siapa yang
melakukan, tetapi siapa pun yang melakukan pelanggaran etika, khususnya terhadap
perempuan dalam kampanye, adalah tindakan pelanggaran yang tidak terpuji, dan harus
mendapatkan peringatan yang sangat keras.
Jurnalisme damai bekerja dengan upaya-upaya keras untuk menelusuri akar kontlik
dan kekerasan, untuk mewujudkan perdamaian dan demokrasi, serta menghindari teori
konspirasi.
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 29
Jurnalisme Damai dan Peliputan Pemilu
2004 Bagaimana Media Melihat Pemilu?
Ibnu Hamad
I. Jurnalisme Damai (Peace Journalism): Pilihan Media Menghadirkan
Realitas
Para praktisi media pasti menyadari jikalau reportase mereka bisa bersifat multifungsi:
untuk informasi, promosi, hiburan, dan lain sebagainya termasuk untuk tujuan perdamaian
dan peperangan (konflik).
Jurnalisme damai (peace journalism) lahir dari kenyataan bahwa laporan-laporan yang
dilakukan media kerapkali menimbulkan ketegangan sosial di tengah masyarakat.
Jurnalisme damai muncul sebagai antitesa terhadap pers yang bisa mengobarkan
permusuhan dan peperangan.
Sebagai kebalikan dari media pro-konflik, dalam pelaksanaannya jurnalisme damai
antara lain dilakukan dengan tidak meliput “kemewahan” perang atau konflik. Media yang
melaksanakan jurnalisme damai tidak mau menonjol-nonjolkan kecanggihan mesin perang
atau kehebatan satu kelompok atas kelompok lain yang berkonflik. Sebaliknya, jika telah
terjadi perang (konflik) maka yang diekspose kepada publik adalah bahaya perang (konflik),
jumlah korban sipil (warga tak berdosa) baik yang mati maupun cacat, jumlah anak-anak
dan wanita yang kehilangan masa depan, fasilitas-fasilitas umum seperti sekolah, rumah
sakit, yang hancur dihantam senjata.
Sedangkan media yang pro-perang sangat terlihat bagaimana mereka ikut
memprovokasi terjadinya perang. Keberanian dan besarnya pasukan serta kehebatan senjata
sebuah kelompok diagung-agungkan kepada publik. Mereka tak peduli pada dengan jumlah
korban perang serta cenderung berpihak pada yang menang.
Tak banyak media yang dapat melakukan jurnalisme damai ini mengingat besarnya
godaan dan gangguan baik yang datang dari internal maupun eksternal media. Hal ini
disebabkan oleh kenyataan bahwa media tidak hidup dalam ruang yang vakum, melainkan
dalam lingkungan sosial yang dinamis. Kehidupan media, termasuk isi (content)-nya, tak
bisa dilepaskan dari situasi di luar dirinya. Begitu banyak faktor yang mempengaruhi isi
media. Di antara para ahli media adalah Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (1996)
menyebutkan isi media itu ternyata sarat dengan pengaruh internal organisasi media,
kondisi eksternal media, bahkan unsur pribadi jurnalis seperti tingkat pendidikan, kesukuan,
agama, keyakinan, dan jender.
Tentang faktor pribadi jurnalis, Louis Day (1991), menguraikan seringnya seorang
wartawan mengalami conflict of interest dalam membuat laporan. Menurut Day, ada tiga
30 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
penyebabnya. Pertama, karena adanya hubungan pribadi dengan nara sumber. Kala terjadi
konflik, apalagi yang melibatkan etnis, agama atau peradaban, ada kecenderungan media
dengan aliran tertentu mengakses nara sumber yang sejalan dengan aliran yang dianut si
media. Kadang-kadang alasannya adalah faktor teknis belaka, sukarnya mendapatkan nara
sumber lain. Tentu hal ini membuat berita menjadi tidak berimbang dan hanya menambah
kesalah-pahaman.
Kedua, akibat keinginan berpartisipasi kepada publik (public participation). Kerapkali,
wartawan juga adalah seorang aktivis politik, lingkungan atau gerakan jender misalnya.
Sehingga dalam membuat laporan terpengaruh oleh sikap aktivisnya tersebut. Dalam hal
demikian ada kecenderungan wartawan berpihak pada kaumnya. Kenyataan ini sama saja
dengan para jurnalis itu terlibat dalam permusuhan.
Ketiga, adanya benturan dengan kepentingan pribadi, khususnya dalam masalah
finansial. Tak dapat ditolak adanya kenyataan bahwa pemberitaan juga bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan. Kenyataan ini mendorong media menjual konflik untuk
memperoleh keuntungan.
Idealisme jurnalisme damai, sekalipun susah, bukannya harus dikalahkan oleh
kepentingan pragmatis pihak media, baik dari sisi para wartawannya, kepentingan
internalnya, maupun tekanan eksternalnya, melainkan harus terus diperjuangkan.
Jurnalisme damai adalah soal pilihan: sisi mana dari realitas yang hendak disajikan kepada
publik: kemewahan perang atau keindahan harmoni.
Dalam konteks ini para pengelola media dapat memilih dari fungsi-fungsi mediasi media
massa yang dikelolanya sesuai jenis dan konteks masalah yang diliputnya. Untuk diketahui,
secara metaforik terdapat 6 (enam) fungsi mediasi media massa (McQuail, 1994:65-66):
1. Sebagai jendela (a window), yang membukakan cakrawala kita mengenai berbagai hal
di luar diri kita tanpa campur tangan dari pihak lain. Realitas disampaikan apa adanya
kepada publik. “Konflik adalah bagian dari isi media untuk disampaikan kepada
publik”.
2. Sebagai cermin (a mirrow) dari kejadian-kejadian di sekitar kita. Isi media massa adalah
pantulan dari peristiwa-peristiwa itu sendiri sendiri. “Konflik disajikan sebagaimana
adanya tanpa memperhitungkan dampaknya ikutannya”.
3. Sebagai filter atau penjaga gawang (a filter or gatekeeper) yang berfungsi menseleksi
realitas apa yang akan menjadi pusat perhatian publik mengenai berbagai masalah
atau aspek-aspek saja dalam sebuah masalah. “Belum tentu konflik disajikan karena
alasan tertentu”.
4. Sebagai penunjuk arah, pembimbing atau penerjemah (a signpost, guide, or interpreter)
yang membuat audiens yang mengetahui dengan tepat apa yang terjadi dari laporan
yang diberikannya. “Koflik mungkin disajikan, tetapi kedamaian ditonjolkan”
5. Sebagai forum atau kesepakatan bersama (a forum or platform) yang menjadikan media
sebagai wahana diskusi dan melayani perbedaan pendapat (feedback). “Konflik dijadikan
bahan renungan atau bahan diskusi untuk mencari perdamaian”.
6. Sebagai tabir atau penghalang (a screen or barrier) yang memisahkan publik dari realitas
yang sebenarnya. “Konflik ditutup-tutupi dari mata publik”
Dari keenam fungsi mediasi ini, demi menghindarkan diri dari tudingan sebagai
pemantik terjadinya konflik dan atau yang memperluas (eskalator) konflik, bisa saja dalam
media mengambil fungsi nomor 3 atau 4, bahkan nomor 6. Namun untuk kepentinganSeminar
Sehari Jurnalisme Damai 31
kepentingan kontrol sosial terhadap penyelewengan-penyelewengan oleh pejabat publik
dan penindasan-penindasan rakyat oleh penguasa, atau untuk kepentingan advokasi atau
pemberdayaan masyarakat sipil seyogyanya dilpilih fungsi nomor 1, 2 dan 5. Seraya
demikian, penyajian realitas oleh media, fungsi nomor manapun yang dipilihnya, tidaklah
dipalsukan; melainkan atas dasar self-sencorship realitas yang akan ditampilkan itu dipilah
dan dipilih untuk kesejahteraan sosial sebanyak-banyak orang.
II. Peliputan Pemilu: Antara Memberitakan dan Mempromosikan Kekuatan-
Kekuatan Politik
Ciri khas liputan politik adalah kemampuannya membentuk pendapat umum (public
opinion). Terutama para aktor politik menginginkan berita politik sebagai sarana
mempengaruhi sikap khalayak mengenai masalah-masalah yang dibicarakan aktor. Sebab
dengan cara begitu, mereka para aktor politik bisa terbantu dalam mencapai tujuan-tujuan
politiknya (Dan Nimmo, 1978; McNair, 1995).
Mengingat dewasa ini politik berada di dalam suatu era yang disebut McNair dengan
era mediasi (politics in the age of mediation), malahan dapat dipastikan bahwa para aktor
politik senantiasa berusaha menarik perhatian para wartawanb agar aktivitas-aktivitas
politiknya memperoleh liputan dari media massa, dalam rangka membentuk opini publik
untuk meraih keuntungan-keuntungan politik tadi. Sebagaimana pemilu-pemilu
sebelumnya, menjelang dan sepanjang kampanye pemilu 2004, setiap kubu akan berupaya
membangun media relation sebaik dan sebanyak mungkin. Semua ini mereka lakukan demi
memperoleh promosi politik dari media.
Karena itu, media massa sebaiknya berhati-hati dengan liputan kampanye ini agar
tidak terjebak kedalam kepentingan pembentukan opini publik atau promosi sebuah parpol
dan atau seorang calon. Sebaliknya, liputan kampanye Pemilu 2004 itu mesti dijadikan
berita politik yang bersifat melakukan pendidikan politik (political education) umumnya
dan pendidikan pemilih (voter education) khususnya.
Benar, bahwa liputan pemilu itu seyogyanya memberitakan bukan mempromosikan
kekuatan-kekuatan politik, apalagi hanya satu dua partai atau tokoh politik. Dengan
bersikap “mewartakan” yang dituntun dengan kaidah impartialitas dan netralitas berita,
pada gilirannya media sudah turut serta menciptakan suasana damai di tengah publik.
Sebaliknya, khalayak merasa terganggu jika liputan bersifat promotif terhadap salah satu
kekuatan politik. Mengapa demikian? Karena cara seperti itu bisa menimbulkan
“kecemburuan politik” di antara kelompok social di tengah masyarakat.
III. Jurnalisme Damai dan Peliputan Pemilu Di Tengah Perubahan Struktur
Politik dan Media Massa
Masalahnya, bisakah media kita menjadi pewarta politik yang baik dalam ukuran
jurnalisme umumnya dan jurnalisme damai khususnya? Sistem media massa kita beserta
lingkungan sosialnya dewasa ini dalam keadaan yang sedang berubah.
Struktur media kita di bidang pers maupun siaran baik dari secara de jure maupun de
facto sudah mengarah kepada industri. Situasi demikian menciptakan prilaku media mencari
bahan berita atau program yang laku jual demi oplag (media cetak) ataupun rating (media
siar). Di sini terbukalah peluan untuk “menjual apa saja” termasuk konflik guna mengeruk
keuntungan, yang menuntut keharusan semakin diperhatikannya tuntunan etika media.
32 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
Begitu pula struktur sosial yang mengenai dunia media, terutama sistuasi politik dan
pemilu, dalam keadaan yang berubah. Interaksi antara media dan politik dalam masa transisi
demokrasi seperti sekarang membuat kita mesti melihat kembali orientasi pemberitaan
politik pemilu (Lihat Gambar 1).
Gambar 1: Mau Kemana Orientasi Liputan Pemilu?
Pers Bebas, Pers Industri
Peran Negara¯
Peran Pasar-
Tradisi Interaksi Pers dan Politik
(Islam, Kristen,
Nasionalis, …)
Pemilu yang Bebas
Peran Negara
Peran Masyarakat
Sistem Politik Multipartai
(Islam,Kristen, Nasionalis)
Orientasi Pemberitaan Masing-Masing Media:
Idealis, Ideologis,
Politis, Ekonomis,…
􀁓
􀁔
􀁓
􀁔
􀁗 􀁘
􀁗 􀁘
Dalam kondisi transisional ini membuat setiap pihak sibuk mencari peluang ke arah
kekuasaan atau posisi tertentu. Dalam masa transisi ini memang lazimnya setiap pihak
mencari kesempatan ataupun memanfaatkan peluang yang ada, untuk berbagai kepentingan
dimana kondisi ini kerap menyebabkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan etika
profesional. Untuk media, boleh jadi liputan pemilu itu justeru dijadikan dalam alat untuk
suatu target tertentu, tidak hanya untuk kepentingan informasional belaka. Bagaimanakah
lagi dengan penciptaan liputan yang mendamaikan?
IV. Liputan Pemilu yang Mendamaikan: Optimalisasi Penggunaan Wacana
Damai
Selain pilihan menyajikan realitas (apakah mau mendewakan konflik atau sebaliknya
mempromosikan jalan damai), jurnalisme damai juga merupakan usaha mewujudkannya.
Caranya tiada lain adalah dengan optimalisasi pengelolaan isi (management of content)
media itu sendiri.
Berkenaan dengan pengelolaan isi media, terdapat dua hal yang berkaitan. Pertama,
sebagaimana para jurnalis media sadari bahwa isi media itu adalah hasil konstruksi realitas.
Isi media itu tidak begitu saja terjadi melainkan hasil “racikan” para pembuatnya (Lihat
Gambar 2).
Dengan gambar 2 ini dapat melihat berita Pemilu (8) dimulai dengan adanya peristiwa
pemilu (1) baik yang menyangkut organisasi, aktor, massa partai. Pengkonstruksian realitas
politik (6) hingga membentuk makna dan citra tertentu –termasuk yang mendamaikan
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 33
atau membakar konflik (9) sangat tergantung pada faktor-faktor sistem media massa yang
berlaku; pembuatan wacana politik dalam sistem media libertarian akan lebih mudah
dilakukan dibandingkan dalam sistem otoritarian. Proses pembuatan berita politik itu juga
dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal media (2) dan (5) serta perangkat pembuatan
wacana (4) dan (7).
Terutama dengan memperhatikan “hasil” dari pembuatan berita politik (no. 9), maka
kita juga bisa melihat bahwa isi media itu Discourse. Inilah aspek yang kedua. Liputan sebagai
hasil konstruksi realitas bisa memiliki banyak fungsi (di luar fungsi informasi): idealisme;
pragmatisme; mendamaikan; memerangkan; karena telah berkembangnya makna liputan
menjadi wacana atau News as Discourse.
Inti berita sebagai wacana terletak pada soal penggunaan bahasa sebagai alat konstruksi
realitas. Di situ bahasa tidak lagi dipakai alat untuk menggambarkan peristiwa; melainkan
pula untuk menciptakan realitas. Untuk memahami masalah ini kita pinjam pandangan Gee
(1999) tentang discourse yang membedakan menjadi:
1. “discourse” (d kecil) melihat bagaimana bahasa digunakan pada tempatnya (“on site”)
untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas atas dasar-dasar linguistik.
“Berita sagai berita”
2. “Discourse” (D besar) merangkaikan unsur linguistik tadi (“discourse” dengan d kecil)
bersama-sama unsur non-linguistik (non-language “stuff”) untuk memerankan kegiatan,
pandangan, dan identitas. Non-language “stuff” itu tadi adalah cara beraksi, interaksi,
perasaan, kepercayaan, penilaian, untuk mengenali atau mengakui diri sendiri dan
orang lain yang bermakna dan penuh arti dengan cara-cara tertentu. “Berita sebagai
wacana”
Gambar 2 : Proses Pembuatan Wacana oleh Media
Dinamika
Internal dan Eksternal
Media (2)
Sistem Operasi
Media Massa (3)
Strategi Media
Mengkonstruksi
Realitas (4)
Proses Konstruksi
Realitas Oleh Media
(6)
Makna dan Citra Partai/Aktor Politik
Opini Publik yang Terbentuk dan Prilaku Politik Khalayak
Motivasi dan Tujuan si Pembuat Teks (9)
Faktor Internal :
Ideologis, Idealis
Faktor Eksternal:
Pasar, Kenyataan Politik
(5)
Fungsi Bahasa
Strategi Framing
Agenda Setting
(7)
Teks
Berita Pemilu
(8)
Peristiwa Politik…. Pemilu (1)
􀁔
􀁔 􀁔
􀁔
􀁔
􀁔
􀁘 􀁗
􀁘 􀁗
34 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
Dengan kata lain, damai atau perangnya sebuah jurnalisme dilihat dari segi ini
bergantung pada “hasil dari penggunaan Bahasa (dengan B besar)” dalam menyajikan
kembali suatu realitas (: peristiwa pemilu) dalam bentuk Wacana (Discourse). “Jika ingin
mendamaikan pakailah bahasa kebun bunga, sebaliknya jika ingin menciptakan konflik
gunakanlah bahasa kebun binatang”... semua terserah kita!
V. Kebijakan Editor tentang Pemilu: Sekadar Berita Damai?
Liputan pemilu yang mendamaikan pasti sangat bermanfaat, membuat situasi sosial
kondusif. Tapi lebih baik lagi jika memberi kontibusi yang positif untuk peningkatan kualitas
demokrasi. Di sinilah perlunya kita mengembangkan pandangan tambahan tentang pemilu
dalam jurnalisme damai. Bahwasanya liputan pemilu itu seyogyanya ditempatkan dalam
proses demokratisasi. Pemilu adalah proses penggantian kepemimpinan secara beradab;
ia bukan sekadar jor-joran janji, perang bendera dan adu kekuatan massa. Pemilu adalah
kesempatan kita semua memperbaiki diri dan bangsa secara bersama-sama dengan caracara
yang manusiawi, memakai otak (bukan otot), dan teratur (priodikal).
Dengan kata lain, liputan pemilu yang damai sejatinya mengandung visi perubahan:
Informasi pemilu menciptakan peluang diperolehnya wakil-wakil rakyat dan presidenwakil
presiden yang berkualitas. Dengan begitu pengkonstruksian realitas pemilu dan
pembuatan wacana pemilu sebaiknya diarahkan untuk perbaikan kehidupan sosial.
Kiranya “wanti-wanti” tersebut perlu diingatkan sehubungan dengan analisis isi
(content analysis) berita kampanye Pemilu 1999 dalam sepuluh koran nasional, menunjukan
fenomena sebagai berikut:
(1) Dari segi jumlah berita setiap koran cenderung lebih banyak memberitakan partai besar
(tepatnya, dengan massa yang besar seperti PDIP, Golkar, PPP, PKB) ketimbang partai
kecil (seperti PARI, ….);
(2) Dari segi penempatan, partai besar cukup sering tampil sebagai head line;
(3) Dari segi isi, umumnya kesepuluh koran itu memberitakan aspek luar kampanye seperti
jumlah massa, suasana kampanye termasuk tertib dan anarkisme massa, dan popularitas
para ketua umum,
(4) Sebagian besar dari kesepuluh koran itu terlibat dalam labeling (antara reformis dan
statusquis) terhadap parpol dan tokohnya;
(5) Bahkan beberapa di antaranya ada yang sangat kentara pemihakannya pada satu parpol
dan pemojokkannya pada partai lainnya (Ibnu Hamad, 2002).
Tentu saja, liputan kampanye 2004, disamping mesti obyektif dalam pengertian netral
(tidak jadi agen publik opini atau promotor partai/calon manapun) dan berimbang
(memberitakan setiap partai dan setiap calon secara proporsional), media massa kita
seyogyanya bisa memilih informasi apa yang patut dan perlu ditampilkan –kata lainnya
bersikap interpretatif— untuk mencerdaskan khalayak (para pemilih) tentang apa dan siapa
yang akan menjadi pilihannya (partai, caleg, capres) secara rasional.
Untuk menampilkan informasi yang obyektif-interperatif setiap partai dan calon
tersebut dengan mengandalkan independensi saja jelas tak cukup. Dalam alam demokrasi
kita yang belum lagi matang, dibutuhkan keberanian yang luar biasa besar dari media,
terutama dalam menghadapi anarkisme massa yang digerakkan oleh partai atau calon yang
tersinggung berat dengan pemberitaan itu, dalam rangka memperbaiki kondisi bangsa ini.
Semoga saja hal itu masih ada.
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 35
Perspektif Jurnalisme Damai
dalam Peliputan Pemilu
Hanif Suranto
I. Pembuka
FERDINAND Nahimana dan Jean-Bosco Barayagwiza tak mungkin lagi melanjutkan
profesinya selaku jurnalis. Maklum, Peradilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah
memutus hukuman seumur hidup bagi dua jurnalis dari radio RTLM, Rwanda, itu.
Keputusan yang dikeluarkan 2 Desember 2003 silam itu juga menghukum 27 tahun penjara
bagi Hasan Ngeze, seorang jurnalis dari Koran Kangura. “Radio RTLM telah menjadi
penabuh genderang perang dengan memanggil para pendengarnya untuk beraksi melawan
kalangan Tutsi” kata hakim Pillay, satu dari tiga hakim yang mengadili perkara tersebut
seperti dikutip Reuter.1
Dalam pandangan para hakim, tiga jurnalis Rwanda itu dianggap bersalah karena siaran
radio dan surat kabar yang mereka kelola, telah mengobarkan permusuhan di antara dua
suku yang saling bertikai: Hutu dan Tutsi. Akibatnya, seperti dilaporkan, sekitar 800 ribu
orang terbunuh dalam pertikaian antar kedua suku selama berbulan-bulan di tahun 1994.
Perdebatan menyangkut apakah media massa dapat menjadi pemicu konflik dengan
kekerasan barangkali memang belum akan berakhir. Namun, keputusan Peradilan PBB
tersebut bagaimanapun merupakan pengakuan nyata tentang dampak pemberitaan media
terhadap percepatan munculnya konflik dengan kekerasan. Pengakuan ini diperkuat oleh
tidak adanya satupun pernyataan resmi dari organisasi jurnalis internasional yang selama
ini memiliki perhatian terhadap perlindungan jurnalis.
Secara sederhana, cara kerja media dalam sebuah konflik dapat dipetakan dalam dua
golongan yang amat bertolak belakang. Di satu sisi media diyakini dapat memicu atau
mengintensifkan konflik seperti dalam kasus media di Rwanda. Akan tetapi di sisi yang
lain tak sedikit pula yang berkeyakinan bahwa media dapat mendorong proses resolusi
konflik, atau bahkan memberikan peringatan dini tentang kemungkinan terjadinya konflik
kekeraasan.2
Cara kerja atau peran mana yang akan dilakukan jurnalis/media dalam wilayah konflik
akan sangat tergantung pada pilihan nilai yang dianut jurnalis/media bersangkutan. Tapi
1 Di Rwanda, menurut Jack Snyder, etnis Hutu memonopoli radio, harta yang paling berharga bagi penduduk negeri
yang 60 persennya buta huruf. Lihat Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah: Demokratisasi dan Konflik Nasionalis, KPG,
Jakarta, 2003.
2 Soal cara kerja media yang seperti dua sisi mata uang ini dapat dilihat dalam Tichenor, dkk, Community Conflict and
The Press, Sage, London, 1980
36 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
sekali memilih peran pro perdamaian kita perlu segera memikirkan pertanyaan-pertanyaan
mendasar berikut. Dalam masalah konflik apakah peran jurnalis/media sekedar melaporkan
fakta, ataukah perlu proaktif mendorong proses perdamaian melalui informasi yang
dibuatnya? Kalau mau proaktif mendorong proses perdamaian pendekatan jurnalisme
seperti apa yang kiranya tepat dipraktekkan?
II. Pemilu dan Konflik
Dalam berbagai pemberitaan konflik sering disamakan dengan kekerasan. Tak heran
bila orang menggunakan kata konflik untuk merujuk pertikaian di Ambon, Poso, dan
Sampit. Padahal dua kata tersebut memiliki makna yang berbeda.. Konflik adalah proses
di mana dua atau lebih pelaku mencoba untuk mencapai tujuan yang saling berlawanan.
Dalam pengertian demikian, maka konflik akan selalu hadir dalam masyarakat. Tidak semua
konflik disertai kekerasan. Ada konflik yang destruktif seperti konflik dengan kekerasan,
tapi ada pula konflik yang konstruktif.
Kalau demikian kita juga bisa mengatakan bahwa proses pemilu sesungguhnya juga
merupakan konflik. Sebab, dalam pemilu partai-partai berebut pemilih yang jumlahnya
terbatas untuk sejumlah kursi di parlemen yang jumlahnya terbatas. Akan tetapi apakah
konflik dalam pemilu juga akan bergerak menjadi konflik kekerasan?
Salah satu isu penting dalam Pemilu 2004 memang menyangkut kekhawatiran
munculnya konflik dengan kekerasan selama proses pemilu. Kekhawatiran itu menemukan
alasannya karena dua hal. Pertama, pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya, tentu saja
dalam intensitas yang berbeda, telah menunjukkan kepada kita berbagai peristiwa konflik
dengan kekerasan selama proses pemilu. Amuk Banjarmasin yang melibatkan pendukung
Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan mungkin merupakan sedikit dari konflik dengan
kekerasan dalam pemilu yang masih kita ingat.
Kedua, Pemilu 2004 sendiri memang mengandung sejumlah potensi konflik yang kalau
tidak dikelola juga bisa berkembang menjadi konflik dengan kekerasan. Peristiwa bentrokan
antar pendukung Golkar dan PDIP di Bali telah membuktikan bahwa sejumlah potensi
konflik itu berkembang menjadi konflik dengan kekerasan.
Apa saja potensi konflik dengan kekerasan dalam Pemilu 2004? Sejumlah diskusi
mengenai pemilu telah mencoba mengidentifikasi hal itu. Bambang Widjojanto dari
Kemitraan, misalnya, mengidentifikasi setidaknya ada sepuluh potensi kerawanan dalam
pemilu. Kesepuluh potensi kerawanan pemilu itu adalah reaksi partai beserta elemennya
karena diskualifikasi tidak absah sebagai badan hukum; reaksi atas diskualifikasi sebagai
peserta pemilu sesuai UU No. 12 Tahun 2003; Reaksi atas penyusunan, pengumuman dan
penetapan DCS/DCT dari DPR/DPRD dan DPD; reaksi atas penetapan dan pengumuman
pencalonan presiden dan wakil presiden; bentrokan antar simpatisan, masa pendukung
dan anggota partai dalam kampanye; bentrokan yang melibatkan masa pendukung calon
anggota DPD dalam kampanye; reaksi masa pendukung calon anggota DPR/DPRD, partai
politik dan calon anggota DPD dalam pemungutan suara; reaksi atas penetapan dan
pengumuman hasil pemilu anggota DPR/DPRD dan DPD; bentrokan antar masa
pendukung calon presiden dan wakil presiden (putaran pertama dan kedua); serta reaksi
atas penetapan dan pengumuman hasil pemilihan presiden dan wakil presiden.
Dari uraian di atas terlihat bahwa potensi konflik sebenarnya hampir ada dalam seluruh
tahapan pemilu. Mulai dari pendaftaran partai sebagai badan hukum hingga penetapan
hasil pemilu. Beberapa tahapan pemilu sudah berhasil dilewati tanpa kekerasan. Akan
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 37
tetapi potensi kerawanan dalam tahapan-tahapan selanjutnya masih harus dilihat. Apakah
potensi kerawanan itu dapat berkembang menjadi konflik dengan kekerasan?
Tatkala pertanyaan itu diajukan kepada para jurnalis dalam sejumlah workshop
peliputan pemilu di 9 kota, rata-rata hampir 70 persen menjawab dengan yakin bahwa
konflik laten tersebut bisa berkembang menjadi konflik terbuka. Dan salah satu tahapan
pemilu yang mereka identifikasi paling berpotensi menjadi konflik terbuka adalah tahapan
kampanye, tahapan di mana kini kita tengah berada. Lantas peran apa yang bisa dimainkan
jurnalis/media menghadapi kondisi tersebut? Jawaban yang disampaikan oleh para jurnalis
tersebut adalah bagaimana memproduksi berita yang dapat mencegah atau membantu
mengurangi konflik kekerasan yang terjadi selama atau pasca pemilu.
III. Berkenalan dengan Jurnalisme Damai
Setiap konflik selalu dilatarbelakang oleh faktor-faktor yang sifatnya multi dimensi.
Kendati ada faktor dominan, akar konflik tidak bersifat tunggal. Salah satu teori mengenai
berbagai penyebab konflik adalah teori hubungan masyarakat. Teori ini menganggap bahwa
konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan
di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai
dalam teori ini adalah meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompokkelompok
yang mengalami konflik; serta mengusahakan toleransi dan agar masyarakat
lebih bisa saling menerima keragaman yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, konflik
terjadi disebabkan oleh terbatasnya sumber-sumber informasi yang karenanya
menyebabkan terjadinya salah persepsi antarpihak.
Lantas apa yang bisa dilakukan jurnalis/media? Selain menjalankan fungsi pendidikan
politik dan monitoring, dalam konteks pemilu saat ini nasihat James L Mwalusanya3, seorang
hakim agung dari Tanzania dalam tulisannya berjudul “Peran Jurnalis dan Penerbit dalam
Periode Transisi Menuju Demokrasi Multi Partai” barangkali layak disimak. Tugas jurnalis
dalam periode transisi menuju demokrasi multi partai, katanya, adalah mempopulerkan
inisiatif perdamaian dan mempromosikan perdamaian. Di samping itu, jurnalis diharapkan
juga dapat mempromosikan dialog antar partai yang berbeda dan menjembatani jurang
antara berbagai titik pandang dalam masyarakat. Dalam negara yang multi etnik hal ini
sangat penting bagi transisi menuju demokrasi multi partai yang damai. Nasihat yang
sungguh relevan dengan kondisi Indonesia saat ini.
Untuk menjalankan peran tersebut, orang biasanya merujuk pada apa yang disebut
sebagai jurnalisme damai. Apa dan bagaimana sesungguhnya jurnalisme damai termasuk
perbedaannya dengan jurnalisme perang? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut ada
baiknya kita simak dahulu perbedaan dua pendekatan besar dalam jurnalisme, yaitu
pendekatan jurnalisme mainstream (atau konvensional/tradisional/objektif) dan
pendekatan jurnalisme alternatif (ada pula yang menyebutnya pendekatan jurnalisme
subjektif). Kedua pendekatan jurnalisme tersebut dibedakan oleh tiga aspek: peran jurnalis,
pendekatan jurnalisme, serta pendekatan khalayak. Tabel berikut mencoba menjelaskan
perbedaannya secara rinci.
3 Mwalusanya menulis untuk workshop bagi para jurnalis dan penerbit Afrika dengan tema “Media untuk Demokrasi
di Afrika”. Saat itu sejumlah negara Afrika tengah dilanda konflik etnik. Bahan-bahan workshop tersebut kemudian diterbitkan
oleh International Federation of Journalists di bawah judul Reporting Etnic Conflict.
38 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
4 Bagian-bagian penjelasan mengenai jurnalisme damai diambil dari Peace Journalism Option, Conflict and Peace Course,
1998; Reporting The World: The Findings, 2001, karya Jake Lynch dan Jurnalisme Damai Bagaimana Melakukannya, LSPP, 2002,
karya Annabel McGoldrick&Jake Lynch.
Jadi apa yang disebut sebagai jurnalisme damai dan sebaliknya apa itu jurnalisme
perang? Secara substansi jurnalisme damai sebenarnya merupakan nama lain dari
pendekatan jurnalisme alternatif. Sebaliknya, jurnalisme perang merupakan nama lain dari
pendekatan jurnalisme mainstream.
Jurnalisme damai4 dikembangkan oleh Johan Galtung, seorang profesor perdamaian
asal Norwegia. Galtung pertama kali mengembangkan istilah jurnalisme damai pada 1970-
an. Galtung mencermati banyaknya jurnalisme perang yang mendasarkan diri pada asumsi
yang sama seperti halnya jurnalis meliput olah raga. Yang ada cuma fokus tentang
kemenangan dalam sebuah permainan menang kalah antara dua belah pihak.
Ia kemudian mengusulkan agar jurnalisme damai mengikuti contoh dalam liputan
masalah kesehatan. Seorang jurnalis kesehatan akan menjelaskan perjuangan seorang
Jurnalisme Mainstream
Peranan Jurnalis
Watchdog (anjing penjaga)
Komentator
Independen
Pengamat
Gaya/cerita
Debat
Perbedaan
Polemic
Pendekatan Jurnalisme
Mencari kesederhanaan (Bipolar)
Reaktif terhadap peristiwa kekerasan
Menunggu terjadinya kekerasan untuk bisa
meliput
Fokus reportase pada peristiwa
“Saya Objektif”
Seimbang: meliput dari dua sisi secara
kuantitatif. (cover both sides)
Pendekatan Khalayak
Kerusakan tubuh/fisik meningkatkan
sirkulasi
Kantor media menentukan agenda
Pemimpin atau pakar yang paling tahu
segalanya (menyuarakan elit) Jargonnya
nama besar adalah berita
Hak untuk tahu
Jurnalisme Alternatif
Peranan Jurnalis
Enabler (membuat sesuatu menjadi
mungkin)
Fasilitator
Independen tapi interdependen
Senasib sepenanggungan
Gaya/Cerita
Dialog
Persamaan dan Perbedaan
Diskusi
Pendekatan Jurnalisme
Menggali kekompleksan (Multipolar)
Strategi untuk mengerti atau membuka akar
konflik
Bersifat proaktif mencegah kekerasan
terjadi
Fokus reportase pada proses
“Saya adil dan berimbang”
Seimbang Meliput dari segala sisi secara
kualitatif (cover multi sides)
Pendekatan Khalayak
Partisipasi publik dalam produksi informasi
menghasilkan masyarakat pembaca
Masyarakat punya peran dalam
menentukan agenda
Orang biasa perlu dimintai pendapatnya
(menyuarakan pihak-pihak yang tidak
bersuara)
Hak untuk berpartisipasi dalam proses
produksi informasi
Pendekatan Jurnalisme
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 39
penderita kanker melawan sel-sel kanker yang menggerogoti tubuhnya. Ia akan menjelaskan
kepada pembacanya tentang penyebab terjadinya kanker, dan memberikan gambaran
tentang penyembuhan penyakit tersebut serta pencegahan yang bisa dilakukan.
Jurnalisme Damai (JD) melaporkan suatu kejadian dengan bingkai yang lebih luas,
berimbang yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan-perubahan yang
terjadi.
Pendekatan JD memberikan semacam peta jalan baru yang menghubungkan para
jurnalis dengan sumber-sumber informasi mereka, liputan yang mereka kerjakan dan
konsekuensi etis dari liputan tersebut-etika intervensi jurnalistik. JD bicara soal mengambil
tanggung jawab atas akibat yang muncul dari hasil liputan kita. JD membuka peluang
pada pemahaman non kekerasan dan kreativitas seperti yang diaplikasikan sehari-hari
oleh para jurnalis dalam membuat liputan.
Jurnalisme damai sering juga disebut sebagai jurnalisme dengan analisis konflik. Sebab,
dalam menjalankan tugasnya jurnalis damai perlu memiliki ketrampilan untuk melakukan
analisis konflik.
Tugas Jurnalis Damai
Tugas pertama jurnalis damai adalah memahami konflik. Apa itu konflik, siapa pihakpihak
yang terlibat, apa tujuan mereka, mempertimbangkan pihak-pihak di luar arena
konflik di mana, bila ada kekerasan terjadi.
Tugas kedua menggali sebab-sebab terdalam atau akar konflik, dampaknya dalam
struktur dan budaya, termasuk sejarah.
Tugas ketiga, gali gagasan macam apa yang muncul untuk pemecahannya yang
ditekankan oleh satu pihak ke pihak lain. Cukup kuatkah gagasan itu untuk
menghindari kekerasan.
Tugas keempat, jika kekerasan terjadi bagaimana dengan dampak yang tak terlihat
seperti trauma dan kebencian, serta keinginan untuk membalas dendam.
Tugas kelima, siapa saja yang bekerja untuk menghindari kekerasan, pandangan apa
yang mereka miliki untuk mengatasi konflik dan metodenya, bagaimana mereka dapat
didukung.
Tugas keenam, siapa yang mulai rekonstruksi, rekonsiliasi, dan resolusi, dan siapa
yang menanggung untung dari seperti kontrak-kontrak rekonstruksi.
Analisis konflik berguna untuk memahami latar belakang dan sejarah dan kejadiankejadian
saat ini. Juga untuk mengidentifikasi semua kelompok yang terlibat, tidak hanya
kelompok yang menonjol; untuk memahami pandangan semua kelompok dan lebih
mengetahui bagaimana hubungan satu sama lain; untuk mengidentifikasi faktor-faktor
dan kecenderungan-kecenderungan yang mendasari konflik, serta untuk belajar dari
kegagalan dan kesuksesan.
Dengan melakukan analisis konflik jurnalis damai diharapkan dapat menghindari
tindakan-tindakan yang dapat memicu konflik terbuka. Tindakan-tindakan yang harus
dihindari tersebut adalah:
Hindari bahwa penggambaran bahwa konflik hanya terdiri dari dua pihak yang bertikai
atas suatu isu tertentu
40 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
Hindari penerimaan perbedaan tajam antara “aku” dan “yang lain”. Hal ini bisa
digunakan untuk membuat perasaan bahwa pihak lain adalah “ancaman”. Keduanya
merupakan pembenaran untuk terjadinya kekerasan.
Hindari memperlakukan konflik seolah-olah ia hanya terjadi pada saat dan tempat
kekerasan terjadi.
Hindari pemberian penghargaan kepada tindakan atau kebijakan dengan kekerasan
hanya karena dampak yang terlihat.
Hindari pengidentifikasian suatu kelompok hanya dengan mengulang ucapan para
pemimpin mereka ataupun tuntutan yang telah dikemukakan.
Hindari pemusatan perhatian hanya kepada pihak-pihak yang bertikai
Hindari pelaporan yang hanya menonjolkan unsur kekerasan karena akan mendorong
terjadinya spiral kekerasan
Hindari penggunaan kata-kata yang sensasional atau bombastis
Hindari labelisasi pada pihak-pihak berkonflik
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 41
Jurnalisme Damai
di Ruang Berita Televisi
Ray Wijaya
Jurnalisme Damai bagi jurnalis di Indonesia bukan barang lama meskipun tidak juga
dapat dikatakan sebagai hal baru. Padahal di beberapa negara pendekatan jurnalisme damai
sudah cukup lama diterapkan.
Perkembangan penerapan jurnalisme damai dalam pekerjaan para jurnalis di Indonesia
relatif hampir sama dengan yang terjadi di sejumlah negara barat.
Jack Lynch dan Annabel McGoldrick, dua jurnalis dan pekerja media dari Inggris yang
sangat gencar menduniakan jurnalisme damai mengatakan, pada mulanya gagasan
jurnalisme damai juga tidak mendapat tanggapan posistif di Inggris. Banyak yang tidak
percaya jurnalisme dan perdamaian dapat berjalan seiring. Atau, “...kalau damai untuk
apa diberitakan?”
Selain itu, saya melihat jurnalis di Indonesia juga belum lama terbiasa dengan
menjadikan konflik sebagai bahan peliputan berita. Selama bertahun-tahun konflik seperti
tidak pernah ada di Indonesia. Itu terjadi antara lain karena demikian rapinya rezim
menutupi konflik yang terjadi di tengah masyarakat untuk menjaga “citra bangsa”.
Konflik menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari setelah adanya keterbukaan
termasuk dalam cara mengekspresikan perbedaan dan mencari jalan pemecahan masalah
di tengah masyarakat.
Namun kita tidak langsung bisa membedakan konflik dengan kekerasan. Karena, ketika
kekerasan terjadi di sejumlah wilayah, sebagian besar dari kita melihatnya sebagai konflik.
Berita-berita yang muncul kemudian adalah tentang terjadinya kekerasan itu, dan bukan
tentang mengapa konflik itu melahirkan kekerasan atau bisakah pemberitaan media secara
proporsional ikut menjadi bagian pemecahan masalah dalam konflik itu.
Upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak termasuk lembaga seperti The Habibie
Center sampai saat ini ikut mendorong percepatan pemahaman akan pendekatan jurnalisme
damai dalam pekerjaan para jurnalis televisi di Indonesia.
Ada sejumlah workshop, seminar dan bahkan pelatihan dengan kunjungan langsung
ke lokasi konflik seperti yang pernah dilakukan oleh Jack Lynch dan Annabel McGoldrick
beberapa waktu lalu di Indonesia, sangat bermanfaat:
Lalu, sudahkan kita pada posisi pemahaman yang sama mengenai jurnalisme damai,
sementara potensi konflik tetap ada dan mungkin semakin besar seperti saat ini?
42 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
Ada tiga hal yang dapat mejamin adanya jawaban positif atas pertanyaan di atas, yaitu
komitmen para pemilik dan pengelola ruang berita televisi, termasuk di dalamnya upaya
menjadikan jurnalisme damai sebagai cara media ikut memperbaiki keadaan negeri dengan
mgendepankan pendekatan hukum dan keadilan, mendorong para jurnalis di dalam media
bekerja secara lebih kritis sehingga dapat menjadi bagian dari solusi bukan menambah
persoalan, dan yang terakhir menyeimbangkan antara tujuan komersial dengan tujuan ideal
sosial.
Saya menilai saat ini masih banyak pengelola ruang redaksi berita televisi terbawa
pada arus persaingan perolehan angka rating semata. Masyarakat pemirsa yang cenderung
menyukai tayangan kekerasan justru menjadi rebutan. Lihatlah kecenderungan angka rating
untuk program-program berita kriminal. Padahal, seharusnya media televisi, seperti juga
medialain, mempunyai tanggungjawab untuk memberi informasi sekaligus memberikan
pencerahan bagi masyarakat.
Selain komitmen dari pengelola media, hal lain adalah kesadaran para jurnalis televisi
sendiri bahwa mereka harus memiliki standarisasi kompetensi professional yang baik.
Penguasaan knowledge, peningkatan skill dan pemahaman akan kode etik harus terus
menerus dipantau dan diasah agar tetap berada pada tingkat yang tinggi. Salah satu cara
adalah melalui ruang ruang pelatihan dan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan serta
tugas-tugas khusus untuk memberikan pengalaman nyata di lapangan.
Ketika IJTI bekerjasama dengan The British Council mengadakan workshop megenai
jurnalisrne damai tahun 2001, kami justru kesulitan mencari peserta. Padahal saat itu, Jack
dan Annabel langsung hadir sebagai pembicara dan tidak dipungut bayaran dari peserta.
Setelah sekian lama, perkembangan penerapan jurnalisme damai di ruang berita televisi
memang tidak buruk. Namun itu tiak berarti sudah berhasil baik.
Semakin banyak kita melihat angle peliputan di wilayah konflik yang menunjukkan
adanya penerapan penekatan ini, entah disengaja karenamemahami jurnalisme damai atau
memang secara sadar jurnalis televisi yang bersangkutan tahu pendekatan itulah yang harus
diambil.
Tetapi, dalam berbagai kesempatan kita juga masih melihat adanya laporan- laporan
yang justru tidak menunjukkan adanya keterlibatan jurnalis televisi sebagai bagian dari
solusi dari sebuah konflik.
Akhirnya, persaingan , yang semakin ketat di antara stasiun televisi saat ini memang
juga telah membuat stasiun hanya memetingkan jumlah pemirsa yang tercermin pada angka
angka rating. Seolah tugas stasiun selesai ketika angka rating tinggi apalagi jika revenue
juga besar .
Karena itu juga, harus ada yang tetap menjaga keseimbangan dalam hal mutu tayangan
berita televisi, termasuk tentu saja pemirsa. Pemirsa harus lebih kritis dalam melihat berita
yang ditayangkan oleh stasiun televisi.
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 43
Fair and proper media coverage of
elections: Japanese perspective
Yoshinari Kurose
Establish moral ground
In discussing fair and proper coverage. it should be started from the very basics: ethics
and moral of each media person.
Fairness and accuracy should not be doubted from readers/viewers. sources etc.
In order to maintain press freedom. media people ourselves should maintain high ethics
so that people wouldn’t have to start talking about ‘rotten journalists.
I believe we have consensus that common basic rules which all our fellow journalists
should abide by. would be these 7 matters:
1. Protect human rights and privacy
2. Taking fair and legal methods in collecting information
3. Protect the identity of the news source
4. Independence from the third party in covering publishing/broadcasting the news
5. Proper handling of the information. Not to use information apart from daily coverage.
such as leaking information to certain politician or/and authorities
6. Cleanliness. Never to receive money or expensive goods from sources
7. No plagiarism
In covering general election 4.5.6 would be particularly important.
As of 5. what had happened several times in Japan is that some media people provided
major political party officials results and detailed analysis of opinion poll that were not to
be published/broadcasted. Party people are dying for information on latest situation on
ground. These information would be used for party’s own benefit. so we should handle
with extreme care.
As of 6. sadly we have to admit that it is common practice in Indonesia. In Japan. cases
are far lesser. since it would be enough reason to expel the journalist from the organization.
Proposal: Each media establishing ‘the code of conduct’ for the editorial staff. In this
way. it will arouse reporters’ awareness on importance of free journalism.
44 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
Unbiased reporting: 1993 Tsubaki case
In September 1993. during the closed door meeting of Japan’s private TV network
organization. the chief news editor of TV Asahi(affiliate of Asahi Newspaper) Sadayoshi
Tsubaki told the participants that during the news coverage of 1993 general election. he
instructed the staff to report the news intending to lead to the establishment of non-Liberal
Democratic Party government (Sankei Shimbun. Oct. 13t.h, 1993.) In the election held in
July. leading LDP was defeated. stepped down. and new coalition government led by Prime
Minister Hosokawa was established. TV Asahi was known by its anti-LDP non-conservative
stance, and Tsubaki told during the meeting that the TV station portrayed the LDP high
official as “bad guys’. in the news. and deliberately brought down their image.
Later, Tsubaki was summoned by lower house committee to explain the incideht. and
resigned the chief news editor.
The incident was interpreted that TV media can easily be emotional illogical compared
to print media. and likely to give good/bad image intentionallyonvisual.
It is rather common that each media has its own political stance. But news itself should
‘not become the tool to impose the stance, or manipulate the readers/viewers to support
certain political party or candidate.
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 45
46 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 47
BEBERAPA CATATAN TENTANG
JURNALISME DAMAI DALAM
MENYONGSONG PEMILU 2004
Rudi Rizki
1. Potensi konflik menjelang Pemilu 2004 telah menjadi kekhawatiran bersama, terutama
konflik yang mengandung kekerasan. Dalam hal ini media diharapkan untuk tidak
memperluas konflik akibat dari pemberitaannya, melainkan diharapkan menjadi
penyejuk suasana yang menjunjung profesionalisme jurnalistik. Kehadiran jurnalisme
damai yang memberikan kontribusinya dalam mencarikan solusi sangat didambakan
pada saat sekarang ini.
2. Pemilihan umum harus dipahami sebagai sarana untuk mewujudkan negara yang
demokratis yang merupakan perwujudan dari HAM yang universal, yaitu ‘hak setiap
orang untuk turut serta dalam pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui
wakit yang dipilih secara bebas’, dan bukan sebagai ajang untuk adu pengaruh dan
kekuatan dari partai politik. Pemilihan umum harus menjadi sarana untuk mewujudkan
asas bahwa keinginan rakyat menjadi landasan kekuasaan pemerintah (Pasal 21
DUHAM)
3. Dalam masa kampanye menghadapi pemilihan umum, seringkali para peserta pemilu
mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang dapat memicu terjadinya konflik dan
kekerasan. Seringkali kampanye dilakuan dengan bersandarkan kepada kebebasan
untuk memiliki dan menyampaikan pendapat, dan hak untuk berkumpul dan
berserikat.
4. Kebebasan berekspresi merupakan hak yang sangat vital, bahkan berdasarkan konsep
interrelated dan interdependency dari norma-norma HAM, dikatakan bahwa tanpa
kebebasan berekspresi dan hak atas informasi, maka hak-hak yang tain tidak mungkin
dapat dijamin pemenuhannya. Didasarkan kepada kebebasan tersebut kemudian pada
masa kampanye seringkali ada pernyataan-pernyataan yang mengandung hasutan yang
mengundang kebencian dan diskriminasi, memicu permusuhan dan kekerasan. Untuk
itu maksud dari juru kampanye dalam mengemukakan pikiran-pikirannya tersebut
harus diamati. Perlu ditarik garis batas yang jelas antara pernyataan yang sehat dan
kritis yang termasuk kebebasan berbicara yang legitimate dan yang tidak.
5. Berdasarkan asa bahwa tidak ada satu kelompok pun atau orang-perorangan dapat
melakukan kegiatan yang bermaksud untuk menhancurkan hak dan kebebasan orang
48 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
lain, maka instrumen HAM menyatakan bahwa kebebasan untuk mengemukakan
pendapat dan berbicara dapat dibatasi guna melindungi hak dan reputasi orang lain,
atau dibatasi oleh aturan tentang ketertiban umum dan kesusilaan. Lebih tegas lagi
dinyatakan bahwa setiap pemyataan yang mendorong terjadinya kebencian terhadap
suatru kebangsaan, ras atau agama tertentu harus dilarang. Terlebih-lebih pemyataan
yang bersifat propaganda yang mendorong terjadinya perang atau sengketa bersenjata
sama sekali harus dilarang (Art. 20 ICCPR). Lebih khusus lagi dinyatakan bahwa
penyebarluasan gagasan yang didasarkan kepada keunggulan atau kebencian ras harus
dilarang dan pelakunya harus dihukum (Art. 4 CERD).
6. Mengenai pembatasan berdasarkan moralitas publik, tidak ada standar yang universal
ataupun regional. Setiap negara memiliki batasan sendiri-sendiri yang dipengaruhi
oleh budaya dan adat istiadat masyarakat setempat.
7. Untuk melihat apakah suatu pemilihan umum jujur dan adil perlu di telusuri apakah
semua orang mempunyai hak akses yang sama? Apakah informasi yang diperoleh
masyarakat tidak bias? Apakah lingkungan cukup aman secara fisik ketika
berlangsungnya pemilihan umum?
8. Untuk melihat apakah pemerintah cukup memberikan perlindungan terselenggaranya
pemilhan umum yang jujur dan adil, perlu diamati pada tahap- tahap sebagai berikut:
a. Pada tahap kampanye (campaign phase)
i. Apakah terjadi ancaman, intimidasi atau serangan dari agen-agen
pemerintah?
ii. Apakah kelompok tertentu (kelompok pemeluk agama, masyarakat adat,
kelompok paham politik tertentu) mendapatkan tekanan?
iii. Apakah ada penyangkalan terhadap kebebasan untuk berserikat dan
berkumpul dan menyatakan pendapat?
iv. Apakah masyarakat mengetahui tentang mengapa dan bagaimana mereka
memilih?
v. Apakah partai politik peserta pemilu dapat menyampaikan pesannya dengan
baik kepada publik?
vi. Apakah partai politik memilik hak akses yang sama terhadap media?
vii. Apakah ada persyaratan yang memadai tentang iklan politik di media?
viii. Apakah semua calon memiliki akses dan waktu yang sama terhadap media?
ix. Apakah perlu system sensor yang langsung dan tidak langsung ataupun self
censorship.
x. Apakah ada situasi ekstrim dimana ada penutupan media dan penyitaan
bahan-bahan berita?
xi. Apakah ada konsentrasi pemilikan media?
b. Pada tahap pemilihan (election phase)
i. Apakah lingkungan tempat pemilihan cukup aman?
ii. Apakah tidak ada ketakutan masyarakat untuk datang ke TPS
iii. Apakah ancaman atau hambatan birokratis
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 49
c. Pada tahap setelah pemilihan (post-election phase)
i. Apakah ada kecurangan penghitungan suara?
ii. Apakah hasilnya diimplementasikan dengan baik?
9. Definisi Umum Jurnalisme Damai:
a. Melaporkan suatu kejadian dengan bingkai yang lebih luas, yang lebih berimbang
dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahanperubahan
yang terjadi.
b. Menggunakan pendekatan seperti memberikan peta jalan baru yang
menghubungkan para jurnalis dengan sumber-sumber informasi mereka, liputan
yang mereka kerjakan dan konsekuensi etis dari liputan tersebut- etika intervensi
jurnalistik.
c. Membuka peluang pada pemahaman “non-kekerasan” dan kreativitas seperti yang
diaplikasikan sehari-hari oleh para jurnalis dalam membuat liputan.
10. Yang dilakukan oleh jurnalisme damai:
a. Orientasi pada perdamaian
i. Menggali proses terjadinya konflik
ii. Memaparkan liputan yang berorientasi pada win-win orientation
iii. Membuat konflik jadi transparan
iv. Memberi kesempatan bersuara kepada semua pihak, berempati, dan
pengertian
v. Melihat konflik sebagai persoalan
vi. Melihat sisi kemanusiaan dari segala sisi dan mengecam penggunaan senjata
I kekerasan
vii. Bersifat proaktif
viii. Berfokus kepada efek kekerasan yang tampak (trauma, rasa menang,
kerusakan pada struktur dan budaya masyarakat)
b. Orientasi pada kebenaran
i. Berkonsentrasi pada hal yang tidak benar dalam segala sisi atau membongkar
semua kepalsuan
c. Orientasi pada masyarakat
i. Berfokus pada kesengsaraan bersama: pada wanita, anak-anak, menyuarakan
merka yang tidak mampu bersuara
ii. Menyebutkan mereka yang menjadi penyebab kesengsaraan
iii. Berfokus kepada mereka yang merintis perdamaian
50 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
d. Orientasi pada penyelesaian
i. Perdamaian tanpa kekerasan
ii. Menggarisbawahi inisiatif perdamaian dan menghindari pengulangan konflik
iii. Berfokus pada struktur, kebudayaan dan masyarakat yang damai
iv. Menghasilkan resolusi, rekonstruksi dan rekonsiliasi
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 51
BIODATA PEMBICARA SEMINAR
52 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
Nama : IBNU HAMAD
Tempat, tanggal lahir : Pandeglang, 5 April 1966
Kantor : Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia,
Kampus Depok Telp/Fax.
7866377; Fax. 7871281
Rumah : Jl. Al-Mutmainah No. 37
RT. 03/01 Pondok Terong,
Pancoran Mas, Depok.
Telp. : (021) 7764626. HP. 0816 113 93 58.
E-mail : Ibnu_columna@hotmail.com;
abumawla@yahoo.com
I.Riwayat Pendidikan
Pendidikan Formal
1985-1991 : Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Indonesia
1994-997 : S-2 Program Master Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia
1997-2002 : S-3 Program Doktor Ilmu Komunikasi UI
II. Pekerjaan saat ini:
- Staf Pengajar Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia.
- Ketua Program Ilmu Komunikasi Ekstensi FISIP UI
- Pengajar Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi FISIP UI
- Pengajar Pasca Sarjana Kajian Timur Tengah dan Islam (PSKTTI) Universitas Indonesia.
- Sekretaris Eksekutif Pusat Kajian Komunukasi FISIP UI
III.Pengalaman Konsultan
1998-Sekarang Koonsultan Komunikasi Pusat Penerangan Sosial (Puspensos)
Departemen Sosial RI
2001-2002 Konsultan Media Analysis di Project Pembangunan Jalan Tol Lingkar
Luar Jakarta, PT. Jasa Marga cq PT. JLJ (Jalan Lingkar Luar Jakarta)
2003 Konsultan Media Analysis pada PT. Prospera Communication dalam
Proyek Penanganan Citra Bank Indonesia
2004 Konsultan Komunikasi Politik di beberapa partai politik
IV. Pengalaman Penelitian
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 53
1. Standarisasi Penyuluhan Sosial : Sebuah Kajian Kepustakaan. (Departemen Kesehatan
dan Kesejahteraan Sosial, 2001, Ketua)
2. Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa, Studi Pesan Komunikasi Politik dalam
Media Cetak Pada Masa Pemilu 1999 (Riset Unggulan Univeristas Indonesia 2001/
2002, Mandiri)
3. Studi Corporate Communication dan Internal Communication Bank Mandiri (2003,
Peneliti Utama)
V. Publikasi
A. Arikel
1. Loyalitas Pers dalam Konflik Aceh (Gatra, Juli 2003)
2. dll (termasuk dua tulisan di Kompas, 2 tulisan di Media Indonesia, 1 di Jurnal THESIS,
1 di Jurnal PACIVIS)
B. Jurnal
1. Dengan Pena, Mengubah Bencana (Book Review), Jurnal Thesis, No. 1/Volume1/
Februari 2000.
2. (Penulis utama). Political Education through the Media? A Survey of Indonesian University
Students (Asia Pacific Media Educator, Journal Education and Training, Issue No. 11,
July – Desember 2001). University of Wollongong, NSW 2522 Australia.
C. Buku
1. Menggugat Partai Politik (Jakarta Lab Politik UI, April 2003, Kontributor) Kabar-Kabar
Kebencian, Prasangka Agama di Media Massa, (Jakarta : ISAI, 2001, co-penulis)
2. Pos Kota : 30 Tahun Melayani Pembaca (Litbang Pos Kota, April 2000, Kontributor)
3. Menyelamatkan Indonesia (Jakarta, Pustaka Pelajar, 1999, kontributor)
4. Membangun Kemandirian Indonesia (Forum Dialog Indonesia, 1995, Editor).
5. Pengantar Ilmu Komunikasi (Modul UT, 1992; penulis)
6. Membangun Tanpa Merusak Lingkungan (Kantor Meneg LH, 1992, editor)
54 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
Nama : MARIA MARGARETHA
HARTININGSIH
Tempat, Tgl. Lahir : Semarang, 12 November 1954
Alamat Kantor : Kompas Daily,
Jl. Palmerah Selatan No. 26
Telp. : 5347710, 5347720
Pendidikan Formal
- S-1 di bidang komunikasi massa di Sekolah Tinggi Publisistik
- S-2 dari Women's Studies, Universitas Indonesia.
Pengalaman Kerja
- Visiting scholar pada the Jackson School of International Studies, University of
Washington di Seattle, AS selama 1 tahun
- 1997-1998, dan mendapatkan training mengenai HAM dan perdamaian di dalam dan di
luar negeri.
Perkerjaan saat ini
- Sejak 1984 sampai sekarang bekerja di Harian Kompas
Lain-lain
- Penerima Penghargaan di bidang HAM Yap Thiam Hien Award, tahun 2003
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 55
Nama : HANIF SURANTO
Tempat, Tgl Lahir : Brebes/ February 6, 1971
Alamat : Jl Deudeul No, 1 RTO5/RWO7
Perum Buntar]ati Bogor 16153
Telpon : (025l) 332574
Pendidikan Formal
2000 - 2001 Department of Communication Science
Graduate School of Communication
Science University of Indonesia Jakarta (Unfinjshed)
1989 - 1997 Department of Journalism Faculty of Communication Science (FIKOM)
Padjadjaran University Bandung
1986 - 1989 Senior High School (SMA Negeri 1 Bogor) Bogor
1983 - 1986 Junior High School (SMP Negeri 1 Tanjung) Tanjung-Brebes
1977 - 1983 Elementary School (SD Negeri Karangreja I) Tanjung-Brebes
Pengalaman Kerja
Nov. 2002 Sampai sekarang Executive Director Institute for Press & Development
Studies (LSPP), Jakarta
March 2003 - Present General Coordinator Freedom of Information Coallition
(Koalisi untuk Kebebasan Informasi)
October 2001 - November 2002 Research Division Coordinator Institute for Press &
Development Studies (LSPP), Jakarta
October 1999 - October 2001 Researcher and Trainer in Journalism Institute for Press
& Development Studies (LSPP), Jakarta
December 2001 Partner Trainer in Conflict Reporting Training Project
(Manado, Ternate) Organized by BBC World Wide-
British Council
September - November 2001 Project Officer and Trainer in Human Rights Reporting
Workshop for Indonesian Journalist (Jakarta) Organized
by The Asia Foundation-LSPP
February - ApriI2001 Project Officer and Trainer in Peace Journalism
Workshop (Jakarta) Organized by The British Council-
LSPP
Publication
1. Membangun Televisi Publik, Mewujudkan Media Demokratis (Building Public Television to
Create Democratic Media),(as an Editor), published by Komunitas TV Publik lndonesia
2. Jurnalisme Perdamaian Media untuk Transformasi Sosial: Manual untuk Pelatihan Jurnalisme
Perdamaian (Peace Journalism. Media for Social Transformation.’ Manual for Peace Journalism
Training), (as an Editor). published by British Council-LSPP.
56 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
Nama : YOSHINARI KUROSE
Tempat, Tgl. Lahir : Tokyo, Japan February 9th,
1966
Alamat : Wisma Kyoei Prince, 1502
Jl.Jenderal Sudirman Kav.3
Jakarta, INDONESIA
Telp. : +62-21-572-4301,
+62-81-696-9043
E-mail : yoshO031@yomiuri.com
Pendidikan : B.A, political science, Keio University, 1988
Pekerjaan
1988 Join THE YOMIURI SHIMBUN as a staff writer, regional news
department.
August 1992-1996 Staff writer, opinion research department. Conducted research
and analysis on 1993 General election and 1995 upper house
election.
May 1996-1997 Staff writer, international news department.
May 1997-2000 New Delhi Bureau chief. Cover news on South Asia. Covered
1997, 1999 Indian general election
July 2000-2002 Staff writer, economic news department.
August 2002-present Jakarta Bureau chief of the Yomiuri Shimbun.
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 57
Nama : RAY WIJAYA
Nama lengkap : I Made Ray Karuna
Wijaya
Tempat, Tgl Lahir : Denpasar, 6 Januari 1967
Alamat Tempat Tinggal : Perumahan Griya
Kencana II Blok CC/21,
Ciledug, Tangerang
Pendidikan
1. Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas
Udayana, Bali, 1991
2. SMA Katholik Swastiastu, Bali, 1985
Pelatihan
1. Running TV Operation, Jakarta, April 2004 Internews-PJTV
2. Avid Non Linear Editing, Jakarta PJTV, April 2004
4. Training of Trainers, TV Journalism, Internews-PJTV, Jakarta 2002
5. TV Journalism Skill (ToT), Inernews-PJTV, Jakarta 2002
6. In Country Training, TV News Production, CNN-RCTI, Jakarta, 2001
7. English for Interview, RCTI-LIA , Jakarta, 2000-2001
8. TV Journalism Skill, British Council-BBC International, London, 1995
9. Leadership for Environment and Development Program, LEAD International-Yayasan
Pembangunan Berkelanjutan, Jakarta,Thailand, Costa Rica, Boston, New York, 2000-
2001
Pekerjaan
1. News Gathering and Production Department Head, PT Cipta TPI, Jakarta, Juli 2003-
sekarang
2. Deputy Chief Editor, PT Cipta TPI, Jakarta, Juli 2003-sekarang
3. Strategic Management Team, RCTI, Jakarta, 2002
4. Executive Producer, RCTI, Jakarta, 2001-2003
5. News Research and Development Department Head, RCTI, Jakarta, 2002
Lain-lain
1. Dosen tamu di program Diploma 3, Jurusan Penyiaran, FISIP UI, Jakarta
2. Dosen tamu di Program Kuliah Sabtu Minggu, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas
Mercu Buana, Jakarta
3. Trainer untuk Program Pelatihan Jurnalistik TV di PJTV-UI, Depok
4. Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), 2001-2004
58 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
Nama : RUDI RIZKI
Tempat, Tgl Lahir : Bandung, 18 Juni 1952
Alamat : Jl. Riung Hegar III No. 2
Bandung
Pendidikan
1. Sarjana S1, Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran,
1983
2. Sarjana S2, University of Melbourne, 1993
Pekerjaan saat ini
1. Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran
2. Staf Ahli, The Habibie Center
3. Hakim Ad Hoc Pengadilan HAM
Pelatihan
1. Pelatihan dan Seminar HAM dalam dan luar negri
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 59
LAMPIRAN-LAMPIRAN
60 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
PERBANDINGAN JURNALISME DAMAI
DAN JURNALISME PERANG
JURNALISME PERDAMAIAN/
ADVOKASI
Berorientasi Konflik/Perdamaian
􀂉 Menelesuri unsur-unsur dalam
konflik, misalnya: berapa pihak yang
terlibat, apa tujuannya, apa yang
menjadi issue atau masalah yang
diperdebatkan, dengan perspektif
mencari penyelesaian.
􀂉 Melihat waktu dan tempat konflik
secara terbuka, tidak dibatasi pada
kejadian- kejadian yang baru
berlangsung. Melihat sebab dan akibat
di berbagai tempat/waktu, menelusuri
sejarah konflik, dst.
􀂉 Membuat konflik bersifat transparan.
􀂉 Memberi suara kepada semua pihak
dengan empati dan pemahaman.
􀂉 Melihat konflik/perang sebagai
masalah, dan melihat bentuk-bentuk
lain dari konflik yang tidak
menggunakan kekerasan.
􀂉 Melihat pihak-pihak yang
berkonfliksebagai manusia, terutama
jika ada penggunaan senjata.
􀂉 Proaktif: mencegah terjadinya perang
dan kekerasan tanpa harus menutupi
konflik.
􀂉 Menyoroti akibat kekerasan yang tidak
terlihat,seperti trauma dan demam
‘kemenangan’, kehancuran struktur
masyarakat dan budaya.
JURNALISME PERANG/
KEKERASAN
Berorientasi Perang/Kekerasan
􀂉 Hanya menyoroti daerah-daerah
konflik, biasanya hanya melihat dua
pihak yang bertikai dengan satu tujuan
(kemenangan). Konflik direduksi
menjadi perang yang tidak mungkin
mencapai titik temu.
􀂉 Melihat waktu dan tempat konflik
secara tertutup, hanya menyoroti
tempat-tempat kejadian. Melihat sebab
dan akibat hanya berdasarkan
peristiwa,seperti siapa yang pertama
kali membunuh, dst.
􀂉 Membuat konflik bersifat rahasia.
􀂉 Menggunakan kerangka ‘kita mereka’,
dan hanya menyuarakan ‘kita’.
􀂉 Melihat keberadaan ‘mereka’ sebagai
masalah, dan selalu menyoroti
kemenangan/kekalahan dari mereka
yang terlibat konflik.
􀂉 Menciptakan image tentang musuh yang
biadab, terutama jika ada penggunaan
senjata.
􀂉 Reaktif: hanya membuat laporan atau
berita ketika kekerasan terjadi.
􀂉 Hanya menyoroti akibat-akibat yang
terlihat dari kekerasan seperti korban
pembunuhan, luka-Iuka, kerusakan,
dst.
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 61
Berorientasi pada Kebenaran
􀂉 Membongkar kesalahan/manipulasi
semua pihak yang berkonflik.
Berorientasi Propaganda
􀂉 Hanya membongkar kesalahan
‘mereka’ dan menutupi kesalahan ‘kita’.
Berorientasi pada Rakyat
􀂉 Menyoroti kesengsaraan yang dialami
rakyat, khususnya perempuan, orang
tua, anak-anak dan memberi suara
pada ‘kaum tak bersuara’.
􀂉 Menyebutkan nama semua pelaku
kekerasan dan kejahatan.
􀂉 Menyoroti usaha perdamaian di
kalangan rakyat.
Berorientasi Propaganda
􀂉 Menyoroti kesengsaraan rakyat ‘kita’,
menggunakan kalangan elit-umumnya
laki-laki sebagai corong.
􀂉 Hanya menyebut nama para pelaku
kekerasan di pihak ‘mereka’.
􀂉 Menyoroti usaha perdamaian yang
ditempuh kalangan elit.
Berorientasi Penyelesaian
􀂉 Perdamaian adalah kreatifitas
berkonflik tanpa kekerasan.
􀂉 Menyoroti inisiatif perdamaian dan
juga berusaha mencegah perang.
􀂉 Menyoroti struktur dan budaya
masyarakat yang damai.
􀂉 Kelanjutan: resolusi, rekonstruksi dan
rekonsiliasi.
Berorientasi Kemenangan
􀂉 Perdamaian adalah kemenangan dan
gencatan senjata (musuh berhasil
dikalahkan).
􀂉 Menutupi semua usaha perdamaian
sampai kemenangan tercapai
􀂉 Menyoroti kesepakatan damai yang
formal, lembaga dan masyarakat yang
terkendali.
􀂉 Kelanjutan: tetap mengobarkan
semangat perang, jika masalah-masalah
timbul lagi.
Sumber: Jurnalisme Damain: Media Massa untuk Transformasi Sosial, Panduan bagi Fasilitator,
Cetakan Pertama, Juni 2002, Lembaga Studi Pers & Pembangunan (LSPP) dan The British
Council, Jakarta.
62 Seminar Sehari Jurnalisme Damai
REKOMENDASI PESERTA
1. Nama : Jumi
Media/ Institusi : Majalah Ummi
Rekomendasi untuk penerapan Jurnalsime Damai oleh media selama Pemilu 2004 ini adalah:
Media hendaknya tetap memegang teguh prinsip-prinsip jurnalisme dan cover multiple
side. Informasi yang ditampilkan pun hendaknya bukan yang “menjual” karena penuh
sensasi tapi yang mampu menjelaskan dengan baik kepada masyarakat tentang apa
yang terjadi. Kalau perlu, beri solusi yang bisa dijadikan acuan oleh masyarakat.
Media juga harus memperhatikan impact dari informasi yang disebarluaskan. Kalau
diperkirakan akan berefek negatif, maka sudah seharusnya untuk tidak dipublikasikan.
2. Nama : Hermanses C.P
Media/ Institusi : Media Watch Bakorpers
Rekomendasi untuk penerapan Jurnalisme Damai oleh media selama Pemilu 2004 ini adalah:
5W + 1H dalam jurnalisme konvensional sebenarnya sudah cocok dengan mainstream
jurnalisme. Akan lebih baik lagi bila ditambah S (solusi) dan C (common ground).
Khusus menghadapi Pemilu 2004, perlu dikembangkan “jurnalisme damai” agar pemilu
tidak “berdarah-darah.”
Perlu diperhitungkan pula kecenderungan media massa menjadi ‘partisan’ karena
pengaruh uang, misalnya melalui iklan. Walaupun diatur KPU, tapi disini parpol ‘kaya
mendapat lebih banyak peluang. Partai kecil bisa ‘gigit jari’.
Masalahnya bagaimana kampanye jurnalisme damai bisa disosialisasikan lebih gencar
dan bagaimana hati nurani pelaku pers.
3. Nama : Warsa Tarsono
Media/ Institusi : Media Ramah Keluarga (MARKA)
Rekomendasi untuk penerapan Jurnalisme Damai oleh media selama pemilu 2004 ini adalah:
Memberitakan peristiwa sesuai dengan fakta dan tidak memicu konflik.
Memberitakan dengan memperhatikan sumber-sumber berita yang mempunyai sikap
yang bijaksana, ketika terjadi konflik.
Tidak memuat pernyataan-pernyataan yang provokatif dari narasumber.
Memberitakan kampanye partai dengan proporsional, sanksi-sanksi KPU, Panwaslu
dan lainnya akibat pelanggaran yang dilakukan saat kampanye.
4. Nama : Febri Deliana
Media/ Institusi : D-3 Komunikasi Universitas Indonesia
Rekomendasi untuk penerapan Jurnalisme Damai oleh media selama Pemilu 2004 ini adalah:
Para jurnalis harus menjunjung tinggi nilai-nilai jurnalisme, tetap bersikap objektif,
dan tetap memegang etika dan moral.
Para jurnali jangan memprovokasi atau secara sengaja membentuk opini publik untuk
keuntungan politik salah satu parpol.
Seminar Sehari Jurnalisme Damai 63
Sekilas Foto
pada acara Jurnalisme Damai
Sesi I: (Kiri) Hanif Suranto, Afdal Makuraga
(Moderator), Ibnu Hamad, Maria Hartiningsih.
Sesi II: (Kiri) Rudi Rizki, Fetty Fajriati
(Moderator), Yoshinari Kurose, Ray Wijaya
(Kiri) Yoshinari Kurose, Ray Wijaya pada
sesi tanya jawab
Suasana Peserta Seminar Sehari
Jurnalisme Damai
Maraknya konflik yang terjadi akhir-akhir di
Indonesia menimbulkan banyak pertanyaan
tentang peran media dalam mecarai resolusi
konflik. Banyak pengamat perpendapat media di
Indonesia lebih lebih cenderung memilih menjadi
“warta berita perang” ketimbang menjadi
pencegah konflik. Wartawan Indonesia belum
sepenuhnya mempraktekkan jurnalisme damai,
suatu “aliran” jurnalisme yang berfungsi menjadi
mediator dengan menampilkan isu dari berbagai
perspektif serta mengarahkan pihak yang bertikai
pada penyelesaian konflik. Dengan teknik
peliputan yang cantik, diharapkan pihak yang
terlibat konflik memahami sudut pandang pihak
lain, mengatasi prasangka dan kecurigaan, serta
mengevaluasi sikap dasar yang terbentuk semula.
Buku ini menawarkan konsep-konsep jurnalisme
damai berkaitan dengan peliputan pemilu 2004.
Semoga buku ini menjadi oasis ditengah
kerinduan akan kedamaian di negeri ini.

No comments:

Followers

TINGGALKAN KOMENTAR ANDA DISINI