aaa

DUKUNG SEMANGAT INDONESIA

Thursday, October 14, 2010

Analisis UU R.I. Penyiaran No.32 Th. 2002

Analisis UU R.I. Penyiaran No.32 Th. 2002

Mengingat bahwa penyiaran sebagai media audiovisual memainkan peran utama dalam sebuah masyarakat modern dan demokratis, oleh karena itu sangat diperlukan UU yang mengatur hal tersebut, berikut analisis UU R.I. Penyiaran No.32 Th. 2002

PENGAMATAN UMUM

Keinginan untuk merubah paradigma pemusatan kekuatan/kekuasaan menjadi penyiaran yang demokratis & memberdayakan daerah :

KPI dan Pemerintah berbagi tugas/kewenangan

Pemberdayaan daerah melalui sistem Stasiun Lokal Penyiaran Berjaringan

Pembatasan-pembatasan terhadap cakupan geografis, kepemilikan dan kepemilikan silang

PENGAMATAN UMUM

Keinginan untuk tetap mempertahankan dan mengembangkan budaya Indonesia berhadapan dengan motif komersial penyelenggara yang dapat melunturkan idealisme;

Keinginan dan kebutuhan mengundang masuknya modal asing kedalam sektor penyiaran, berhadapan dengan hal-hal yang kurang menguntungkan bangsa dan masyarakat yang ikut masuk/dimasukkan dengan modal asing.

ANALISA UU 32/2002

U M U M

Rumusan pasal-pasal belum merefleksikan semangat dan substansi dari butir-butir dalam konsiderans UU no. 32 tahun 2002;

Ketentuan-ketentuan yang menyangkut penyelenggaran penyiaran radio hampir sama seluruhnya dengan ketentuanketentuan menyangkut penyelenggaraan penyiaran televisi;

ANALISA UU 32/2002

SISTEM PENYIARAN NASIONAL

Lembaga Penyiaran Publik-Swasta-Lokal-Komunitas Tidak tercipta keragaman program di bidang penyiaran TV, karena baik TVRI maupun televisi swasta/lokal yang jumlahnya besar menganggap publik sebagai konsumen, bukan sebagai warga bangsa (citizen). Padahal dual system dimaksudkan adalah untuk menjamin terselenggaranya keragaman program.

-------------------------------------------------------------------------------------------------

Mempertahankan Prinsip Demokrasi Dalam Revisi UU Penyiaran
Jakarta, 18 Februari 2010
Latar Belakang
Sudah sewindu UU Penyiaran diberlakukan di Indonesia. Selama itu pula banyak
muncul kontoversi seputar undang-undang ini, sekalipun ia pertama kali dibuat untuk
mendemokratisasi penyiaran nasional, baik secara modal maupun secara pemberitaan.
UU ini dilatari ramainya bermunculan televisi-televisi lokal dan radio-radio
komunitas di Indonesia. Searah perkembangan industri penyiaran, masalah yang kerap
muncul adalah kepemilikan stasiun siaran, menjaga independensi siaran dan mengatur
pembagian frekuensi.
UU Penyiaran menggantikan UU No 24/1997 tentang Penyiaran adalah memastikan
perubahan mendasar dari model sentralisasi ke model desentralisasi. UU No 32/2002
bersifat desentralisasi dan UU No 24/1997 bersifat sentralisasi. Wujud nyata
implementasi prinsip desentralisasi ini, UU Penyiaran memperkenalkan Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai regulator yang terdiri dari KPI pusat dan KPI
daerah.
Permasalahan
Jika dijabarkan, maka permasalahan yang muncul seputar UU Penyiaran adalah:
1. Sentralisasi kepemilikan TV-TV swasta nasional
Sentralisasi terjadi dalam bentuk misalnya Trans TV "membeli" TV7. ANTV
berkolaborasi dengan Lativi, RCTI, TPI, dan Global TV berada di satu tangan
MNC (PT Media Nusantara Citra Tbk). SCTV dan Indosiar akan segera
berada di satu tangan, SCM (PT Surya Citra Media Tbk). Sentralisasi ini
melanggar prinsip demokratisasi siaran yang ada dalam UU Penyiaran, namun
kerap kali pemindahtanganan kepemilikan televisi ini didasarkan alasan UU
Penyiaran tidak mengatur sampai kepada kepemilikan saham. Tindakan ini
juga dapat diartikan mencuri start sebelum ketentuan stasiun jaringan
diberlakukan.
2. Posisi KPI yang bukan lembaga negara sehingga tak bergigi sebagai
regulator sesuai UU Penyiaran
Selama ini terjadi tarik-menarik wewenang antara Kemenkominfo dengan
KPI. Misalnya, KPI berdasarkan UU penyiaran mengakui keberadaan
Lembaga Penyiaran Komunitas. Namun Kemenkominfo lewat PP no 50 tahun
2005 justru menyatakan sebaliknya. Setelah dibawa ke Makamah Agung,
Kemenkominfo dimenangkan karena KPI dianggap bukan lembaga negara.
KPI dilain pihak kerap menjadikan posisi ini sebagai alasan mereka untuk
memaklumi kegagalan pengawasan terhadap konten-konten siaran yang
melanggar UU Penyiaran misalnya yang melanggar kode etik jurnalistik atau
konten dewasa ditayangkan di jam tonton anak-anak.
3. PP No 49,50, 51 dan 52 Tahun 2009 tentang lembaga penyiaran asing,
publik, berlangganan dan komunitas yang isinya bertentangan dengan
UU Penyiaran
PP ini sering disebut-sebut sebagai biang keladi lemahnya wewenang KPI atas
lembaga-lembaga penyiaran di Indonesia, termasuk fungsi pengawasan
mereka terhadap konten yang mengandung pornografi, SARA dan
sebagainya. Juga atas terganggunnya keyamanan publik akibat
diperbolehkannya konten iklan dalam TV berlangganan. Untuk itu Komisi I
berharap revisi UU Penyiaran nantinya dapat menegaskan posisi dan
wewenang KPI sebagai lembaga negara agar dapat mengeluarkan peraturan
yang berkekuatan hukum sama atau bahkan lebih daripada Kemenkominfo.
4. Kewajiban lembaga penyiaran untuk memperoleh izin penyelenggaraan
penyiaran.
Ketentuan ini dianggap sebagai bagian upaya kontrol pemerintah, seperti
ketentuan media cetak memiliki SIUP di era Orde Baru. Yang berwenang
sebagai regulator menurut UU Penyiaran memang KPI dan bukan
Kemenkominfo, namun dengan posisi KPI bukan sebagai lembaga negara
sehingga mudah “dikalahkan” dengan Permen atau PP, maka bukan tak
mungkin kewajiban ini akan menjadi salah satu jalan bagi pemerintah untuk
mengontrol lembaga penyiaran.
5. UU Penyiaran yang menyatakan izin penyelenggaraan penyiaran dapat
dicabut
Antara lain karena tidak lulus masa uji coba siaran, melanggar spektrum
frekuensi radio atau wilayah siaran, tidak melakukan kegiatan siaran lebih dari
3bulan tanpa sepengetahuan KPI, memindahtangankan izin siaran ke pihak
lain dan melanggar ketentuan standar program siaran. Ketentuan dapat
dicabutnya izin penyiaran dalam UU Penyiaran ini membuka kemungkinan
bagi pemerintah untuk mengendalikan konten siaran.
6. Izin penyelenggaran siaran dapat dinyatakan berakhir karena habis
masa izin dan tidak dapat diperpanjang lagi
7. Penerapan penggunaan cakupan wilayah siaran yang tidak sesuai kondisi
TV swasta nasional
Menurut Pasal 20 lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran radio dan jasa
penyiaran televisi masing-masing hanya berhak menyelenggarakan 1 siaran
dengan 1 saluran siaran dengan 1 cakupan siaran pula. Namun saat ini semua
lembaga penyiaran tv swasta nasional disiarkan dari Jakarta lalu
dipancarluaskan lewat stasiun relai dengan frekuensi UHF. Ini berarti 1 stasiun
menggunakan lebih dari 1 cakupan siaran dan melanggar UU Penyiaran.
Tujuan
Dengan merevisi pasal-pasal UU Penyiaran, diharapkan demokratisasi lembaga
penyiaran dapat terus berjalan dan peluang bagi pemerintah untuk mengendalikan
konten siaran ikut terpupus. Dengan revisi ini juga diharapkan KPI dapat menjalankan
perannya sebagai regulator tanpa harus ditantang PP atau Permen yang mengatur
sebaliknya.
Kesimpulan
Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi I dengan Kemenkominfo 3 Februari 2010,
disepakati untuk merevisi UU Penyiaran, bersama-sama dengan UU ITE dan
UUTelekomunikasi. Namun revisi ini akan dilakukan setelah sebelumnya Komisi I
dan Kemenkominfo menyusun UU Konvergensi Telematika sebagai hukum payung
ketiga UU tersebut. Komisi I mengharapkan masukan dari seluruh lapisan masyrakat
dalam proses pembuatan dan revisi UU tersebut. SUMBER

-------------------------------------------------------------------------------------------------

No comments:

Followers

TINGGALKAN KOMENTAR ANDA DISINI